KEHIDUPAN ini begitu unik. Tuhan mempunyai beragam cara untuk menunjukkan kebaikan orang lain kepadaku. Saat diri ini merasa dunia begitu kejam dan diriku seolah dipaksa bertahan seorang diri, Tuhan memperlihatkan ada orang-orang baik dengan perlakuan sederhana tapi membuat hatiku berdecak.
Ada pengendara motor yang mempersilakanku untuk menyeberang jalan raya, ada seorang perempuan yang rela meminjamkan buku-bukunya untuk kubaca berhari-hari, ada tetangga sebelah yang mau direpotkan berkali-kali hanya untuk memperbaiki laptop usang, ada pemuda jangkung yang bersedia menjadi rekan tukar pikiran hingga tukar perasaan, ada kawan SMA yang mau mengangkat telepon di jam 2 dini hari, ada teman lama yang siap mendengar aku menangis, ada guru yang begitu percaya bahwa diriku punya potensi, tidak lupa ada orang tua yang selalu mengirim doa juga dana tanpa diminta, ada saudara serahim yang selalu siap berbagi kebahagiaan, serta ada banyak manusia baik hati lainnya yang hadir dalam kehidupan unik ini.
Kuteguk kopi yang mulai dingin, sore ini angin berhembus cukup kencang. Tidak ada lembayung senja seperti dalam sajak-sajak romantis, hari ini mendung.
Kukira mengeluh itu melegakan, ternyata tidak. Walaupun mengeluh adalah manusiawi, tapi bagiku ia tidak membuatku tenang. Dalam sehari, bisa puluhan kali aku menggerutu --capek banget, macet lagi, kenapa hujan sih, kapan selesainya ini, pake kehabisan bensin segala-- dan omelan-omelan lainnya yang terbesit dalam hati seolah mengutuk takdir.
Jika mengeluh tidak meringankan, tidak pula melegakan, lalu untuk apa, aku termenung memikirkan jawabannya.
Ada sebuah resep amat mujarab dariku, ketika lelah dan kehabisan energi bahkan sekadar untuk tersenyum, obati dengan menelepon Ibu. Menenangkan. Bahkan suaranya jauh lebih damai dibandingkan kicau burung di tepi pantai, jauh lebih sejuk dibandingkan sepoi angin di bukit rindang.
Setelah mendengar celotehku yang mengeluhkan banyak hal, Ibu berujar, "Keluarkan kalimat positif, maka ia akan kembali padamu."
Memang terdengar seperti retorika belaka yang digaungkan para motivator di atas podium, tapi ketika sosok ibu yang mengucapkan, itu bukan hanya quote motivasi, itu sebuah doa. Kita tahu, doa ibu tidak memiliki hijab, tembus langsung langit ketujuh.
Aku yakin, kita tidak pernah berjuang sendirian. Ada doa ayah ibu yang turut bekerja, ada belas kasih Tuhan yang turut dilimpahkan-Nya.
Setelah itu, aku masih juga mengeluh tapi sepertinya tak lagi sebanyak dulu. Memang masih sering lupa untuk bersyukur, lebih besar egonya daripada sabarnya, lebih banyak menyadari kesedihan daripada menikmati kebahagiaan.
Seperti di awal tulisan ini, banyak orang baik yang didatangkan dengan cara sederhana sampai-sampai kita tak sadar bahwa itu juga tanda kasih dari Tuhan.
Kalau masih lebih banyak mengeluh daripada bersyukurnya, aku malu untuk meminta pada Tuhan. Seolah tidak tahu diri, dikasih ribuan kebaikan, tapi masih merasa kehidupan begitu jahat.**
Komentar
Posting Komentar