Langsung ke konten utama

Postingan

Benarkah Perempuan Selalu Benar?

ADA satu kalimat yang begitu risih saya dengar, "Perempuan selalu benar" atau "Perempuan tidak pernah salah." Sayangnya, kalimat ini pun kerap kali diamini oleh sebagian perempuan. Padahal kalimat ini menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang cacat logika sehingga tidak bisa membedakan mana benar, mana salah. Pernyataan "Perempuan selalu benar" awalnya muncul dari mulut laki-laki yang kalah berdebat karena kesulitan mencari pembelaan diri. Dalam posisi terdesak, ego laki-laki itu kemudian mengeluarkan kalimat tersebut sebagai bentuk defensif.  Ada sebuah teori menarik dalam film Kill The Messenger, "Bila tak mampu membantah substansi persoalan, maka bunuhlah karakter sang pembawa pesan." Ya, kalimat "Perempuan selalu benar" dan "Perempuan tidak pernah salah" menjadi serangan dadakan dari laki-laki yang merasa terpojok karena tak bisa berargumen, mereka kemudian menjadikan kalimat ini untuk "membunuh" perempuan. B
Postingan terbaru

Joko Pinurbo Berpulang, Dunia Sastra Indonesia Kehilangan Penyair Hebat

DUNIA sastra Tanah Air baru saja kehilangan salah satu penyair hebat, Joko Pinurbo. Ia wafat pada Sabtu, 27 April 2024 sekitar pukul 06.30 WIB di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Kabar kepergiannya memberikan rasa duka di seluruh pencinta sastra. Jokpin, demikian sapaanya, menjadi guru bagi banyak orang. Puisi-pusinya begitu akrab di telinga masyarakat Indonesia, terutama anak-anak muda. “Atas nama pimpinan Badan Bahasa, Kemendikbudristek, kami ikut berbela sungkawa atas meninggalnya Joko Pinurbo,” kata Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra Badan Bahasa Kemendikbudristek Muhammad Abdul Khak.  Menurut Abdul, puisi-puisinya yang memadukan narasi, humor, dan ironi menjadi salah satu ciri yang khas dari karya-karya sastra Joko Pinurbo sehingga mampu diterima oleh banyak masyarakat Indonesia. Sebuah puisi singkat karya Joko Pinurbo sering kali beredar di linimasa jagat maya. Saya begitu hafal bunyinya: Tuhan, ponsel saya rusak dibanting lindu Nomor kontak saya hilang semua Satu-satu

Tepung Seharga Nyawa Manusia

Alkisah, di sebuah kota suci nan subur Hidup manusia mulia yang diserang sekelompok penjahat bengis; tak berhati dan tak pula berakal Para penjahat itu bermodalkan kebodohan dan keserakahah Dengan besar kepala mereka melawan kebenaran  Lucunya, langkah kejahatan itu didukung oleh pamannya, Paman Sam Lalu ketika seluruh hati di dunia terketuk dan mengutuk, Paman Sam tiba-tiba berubah peran Ambil langkah "kemanusiaan" Pura-pura berbaik hati Bah, pandai kali aktingnya Kirim bantuan lewat udara Jatuhkan makanan dari langit pantai Gaza Warga setempat yang kelaparan berlarian menuju ke situ Ternyata itu bukan hanya tempat makanan tapi juga tempat pemakaman Tepung yang dijatuhkan Paman Sam, seharga 150 nyawa manusia Mereka meregang nyawa di atas peti makanan Belum sempat mereka merasa kenyang, darahnya sudah lebih dulu terkuras Peti bantuan itu mendadak berubah warna Menjadi merah Semerah darah para syuhada Wanginya semerbak menembus layar handphone di gengaman umat manusia Aromanya

Kita Beda, Jauh, dan Berjarak

Jika di bibir seorang perayu, wajahmu bercahaya bagai lentera Maka di mata sang penikmat cinta, kau lebih terang dari seribu bulan Bagi pencandu kata, bait romantis begitu bisa menghanyutkan Tapi bagi pelari handal, membawamu pergi, jauh lebih masuk akal Di muka pintu kau berdiri dengan sebilah keyakinan Sedang aku sebatang kara, tanpa pengharapan Tanganmu tak sampai menggenggam asa, sebab jariku enggan menepis jarak Begitu tinggi pembatas itu Sumpah mati ku tak berdaya Kata-kata begitu sakti terpatri di hati Tapi bibirmu begitu kebas untuk bersyair Tidak apa-apa, bukan salahmu Lalu mengapa keyakinan itu kokoh nan tangguh? Padahal ragam onak penuhi jalanan Maka jika diriku seorang penyair, bisakah kau bisikkan kata manis? Sedang dirimu seorang petarung; lebih rela mati dihujam senjata ketimbang merayu wanita Pertanyaan itu takkan mampu kau tangkis Sebab jawabannya tidak ada Tidak ada, Tuan! 

Film “Dirty Vote,” Bukti Kebiadaban Pemerintahan Jokowi

PERINGATAN : Tulisan ini bukan kajian ilmiah yang tersusun rapi dengan kalimat akademik dan sajian data konkrit. Bukan juga berisi pujian untuk menyanjung junjunganmu. Jadi bagi Anda yang merasa pendukung fanatik Presiden Jokowi maupun paslon tertentu, sebaiknya Anda tidak perlu membaca tulisan yang isinya hanya “sumpah serapah” untuk idolamu itu. FILM dokumenter “Dirty Vote” tayang hari ini, Ahad, 11 Februari 2024 pukul 11.11 WIB di kanal YouTube Dirty Vote. Saya buru-buru mengunduh film tersebut, khawatir sewaktu-waktu bisa di-takedown. Ya, saya memang sangat pesimis dengan kebebasan berbicara/berekspresi di negeri yang katanya demokrasi ini. Pukul 20.00 WIB, film tersebut selesai saya tonton. Bergegas saya buka Microsoft Word yang ada di laptop untuk menuangkan segala emosi yang terangkum selama menyaksikan “Dirty Vote.” Film yang disutradarai Dandhy Laksono ini kembali berhasil membuat saya meneteskan air mata. Bisa dibilang, jejak air itu belum sepenuhnya kering saat tulisan

Puisi Cinta Untukmu; Pejuang Palestina

  Berdiri tegap tak bergiming Busungkan dada depan buldoser  Siapa takut kehilangan nyawa Keberanianmu memuncak meski di tangan hanya kerikil tanpa senapan Sementara serdadu Zionis Dengan angkuh menodongkan senjata Tatapan tajammu menghujam keaangkuhan itu Lidahmu tak kelu Malah basah dengan asma-Nya Derap langkah para pejuang begitu gagah Berlari kibarkan bendera Palestina Semangatmu tak surut walau Israel berlagak di atas tank raksasa Tanah airmu dirampas dengan congkaknya Dan kau terus berjuang tanpa henti Di ruang-ruang gulita lagi sunyi Tubuhmu dikurung, pucat pasi Tapi sungguh Apa pun tak goyahkan gelora jihad dalam sukmamu Di lorong-lorong sempit kau terhimpit Meraba-raba cahaya dalam kegelapan  Enggan kau pergi dari bumi suci ini Meski sesak mesiu memenuhi ruang paru-paru "Demi Palestina" ucapmu tenang Butuh berapa masa lagi Berapa tahun lagi Aku begitu sangsi pada keadilan dunia Lalu, kau datang berlumur darah Sesimpul senyum terpaut di ujung bibir Kau berucap "

Maaf Palestina, Aku Hanya Bisa Menangis

Jalan nestapa kau tempuh puluhan tahun Dan aku cuma bisa bersedih Meja makanku penuh hidangan kenikmatan duniawi, sementara saudaraku di Palestina terbunuh setiap hari Suara takbir memancar dari bibirmu diiringi detak jantung yang perlahan berhenti Darahmu menetes memerahkan bumi para nabi Lalu kau tersenyum menyambut sorga Kuteguk kopi hitam di teras rumah depan surau Surat kabar memberitakan nasibmu Si ini mengutuk Zionis Si itu mengecam Israel Maaf Sayang, hanya itu yang kami bisa Ya, hanya itu yang kami bisa lakukan Faktanya, tangisan bayi dan jeritan perempuan tua Tak mampu menurunkan senjata dari dekapan serdadu laknatullah Benar, peluru tak bernurani; ia hanya tunduk pada tuannya Di mana hukum internasional?  Sssstttssss... Aturan itu sudah lama dikebiri Lagi dan lagi, aku hanya bisa bersedih Ketika tangan nakal Zionis meninggalkan noktah hitam di tubuh saudara perempuanku Ketika lelaki paruh baya terpasung dalam penjara karena membela tanah airnya Ketika bayi tetiba jadi yatim