Langsung ke konten utama

Polisi vs Everybody

 

Ilustrasi Polisi

AKHIR-AKHIR INI, kekerasan dari aparat kepolisian kembali mencuat dan menggegerkan media. Tapi seharusnya kita tidak perlu kaget, karena kejadian ini hanya pengulangan kejadian-kejadian sebelumnya. Kasus kekerasan oleh aparat terhadap masyarakat sudah sering berdengung di telinga kita. Hampir seluruh judul berita di media massa menuliskan 'Oknum Polisi Melakukan Tindakan Represif Terhadap Warga', atau berita-berita sejenisnya yang juga memakai kata OKNUM.

Kata OKNUM sendiri mulai ramai digunakan di media massa ketika masa Orde Baru untuk menyelamatkan nama baik lembaga Kepolisian pada masa itu. Orang-orang yang bermasalah dalam kepolisian disebut OKNUM, sehingga tidak mengotori nama instansi tersebut. Walaupun ada puluhan bahkan ratusan polisi yang melakukan kejahatan, tetap disebut OKNUM. Ini merupakan pengendalian opini oleh pemerintah melalui bahasa-bahasa yang digunakan media, dan itu terjadi hingga saat ini.

Di era Jokowi, kasus kejahatan dan kekerasan yang dilakukan polisi sudah puluhan yang viral. Itu yang nampak di permukaan, bagaimana dengan yang tidak viral? Kalau dikumpulkan mungkin lebih dari ratusan kasus. Tetapi kita masih menggunakan kata OKNUM. Ini bukan lagi oknum, ini bukan satu dua orang, bukan lima atau sepuluh orang. Ini puluhan, ratusan. Bukan cuma individunya saja, tapi ada masalah dalam lembaga kepolisian. Ada kecacatan sistem dalam lembaga tersebut.

Kasus tambang di Wadas, Jawa Tengah, dan di Parigi, Sulawesi Tengah,  serta ratusan kasus kekerasan lain yang dilakukan oleh polisi, sudah cukup jadi bukti bahwa POLRI bermasalah, cacat, dan krisis kemanusiaan. Tidak cukup hanya memecat atau dijatuhi pasal dengan hukuman penjara atau membayar denda oleh pelaku saja, tapi harus ada pengawasan dan perbaikan dalam lembaga kepolisian.

BACA JUGA: Anda Setuju Ibu Kota Negara Pindah?

Kita selalu penasaran, apa yang diajarkan di dalam sana sehingga output-nya brutal dan liar seperti ini. Slogan 'Polisi Mengayomi dan Melayani Masyarakat' membuat kita muntah membacanya.

Saya percaya, dalam tubuh Polri masih ada polisi-polisi baik hati dan tidak sombong, tapi jumlahnya mungkin bisa dihitung jari. Sepertinya polisi yang tahu etika dan tata krama inilah yang lebih cocok disebut oknum, karena jumlahnya sedikit. Sedangkan para polisi bejat dan angkuh mengokang senjata yang jumlahnya seperti bintang di langit itu, tidak pantas disebut oknum. 

Oknum kok kalau dikumpulin bisa jadi lima Polda?

Berhenti menutupi kecacatan sistemik dengan penggunaan kata oknum.**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenun Kwatek, Karya Tangan Perempuan Adonara

   Kwatek Adonara saat dikenakan Penulis SUDAH tidak asing lagi jika kita mengetahui bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kain tradisional. Begitu pula di Pulau Adonara. Pulau ini menjadi salah satu daerah yang memiliki kain tenun sebagai kain tradisionalnya. Pulau Adonara sendiri terletak di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat Adonara, tenun ini dipakai dalam berbagai acara seperti upacara adat, pernikahan, pemakaman, dan hari-hari besar lainnya, baik hari besar nasional ataupun hari besar agama. Selain itu, kain tenun ini juga dikenakan sehari-hari oleh masyarakat Adonara dan dijadikan cendramata bagi wisatawan yang berkunjung ke sana.  Tenun Adonara memiliki tiga motif, pertama motif dengan warna-warni bergaris lurus lebar merupakan kain Kewatek (berbentuk seperti sarung), yang kedua motif dengan warna yang monoton serta bergaris lurus kecil-kecil adalah Nowing (berbentuk seperti sarung) dan yang ketiga motif berwarna dan bergaris lurus a...

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba...

Yang Berharga, Hiduplah Lebih Lama

Satu hal yang pasti bahwa mereka tidak lagi muda. Sebagian besar warna rambutnya sudah tak hitam, kerutan di tangan dan wajahnya kian tampak, beberapa gigi pun telah tanggal. Sudah lebih dari separuh abad, hidupnya di muka bumi. Kenyataan ini membuatku terisak, meski tanpa suara.  Aku berada jauh. Menyeberangi lautan dan udara. Baktiku tentu hanya setitik dibandingkan embusan perjuangan dan kasihnya. Fakta ini, membuat genangan di mataku sering tumpah, meski lagi-lagi tanpa suara. Perempuan itu begitu lembut tapi juga tegas. Aku dan dirinya sering kali beradu. Maklum, egoku yang teramat kental susah sekali dicairkan. Tapi doa-doanya adalah payung atas segala badai. Hidupku adalah berkat dari sujud panjangnya dan rapalan kalimat yang ia tuangkan merayu Sang Tuhan.  Sementara itu, seorang pria gagah dengan tangan lebar dan sedikit kasar. Telapak kakinya pun demikian. Tapi dari tangan dan kaki itulah aku tumbuh dan berdikari; menjadi kaktus di tengah gersang, menjadi api di tenga...