Langsung ke konten utama

Kehidupan Up Normal


SUDAH berbulan-bulan kita menjalani kehidupan 'aneh' yang entah kamu menikmatinya atau tidak. masker pelindung wajah sudah jadi outfit wajib yang dibawa serta jika beranjak keluar rumah. Tidak lupa suhu badan harus stabil, di atas 36,5°celcius kamu 'bermasalah'.

"Semprot tangan kanan dan kiri, jangan bersalaman apalagi berpelukan, duduk satu meter dariku, jangan mendekat atau kamu akan celaka"

Konsep kehidupan dengan penuh ancaman tersebut menjadikan manusia-manusia dihantui rasa takut. Terserah percaya atau tidak soal virus paling 'membagongkan' ini, yang pasti kita berada dalam situasi Up Normal.

Lahir literasi-literasi dengan data-data terpercaya yang dibawa oleh aneka ragam orang-orang berpengaruh di bumi ini. Sebagian berpihak pada protokol kesehatan, sebagian lainnya mengatakan bahwa kita tidak bisa merdeka jika menjadi kacung elit global.

Saya tidak sedang membahas tentang virus yang  saat ini menguasai media dan isi kepala kalian sebagai konspirasi atau bukan. Namun saya ingin mengatakan bahwa kehidupan 'gila' ini menjadikan tubuh dan perilaku seseorang didikte keras.

Angka-angka pasien melonjak, entah benar terpapar atau memang 'dipaparkan', entah karena kurang beruntung atau memang sedang 'diendors'.

Jika hari ini saya diberikan kekuatan super layaknya superhero dalam film dan komik fantasi, hal pertama yang saya lakukan adalah menghilangkan keberadaan virus tersebut, lalu kita hidup dengan damai selamanya. Happy Ending.**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenun Kwatek, Karya Tangan Perempuan Adonara

   Kwatek Adonara saat dikenakan Penulis SUDAH tidak asing lagi jika kita mengetahui bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kain tradisional. Begitu pula di Pulau Adonara. Pulau ini menjadi salah satu daerah yang memiliki kain tenun sebagai kain tradisionalnya. Pulau Adonara sendiri terletak di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat Adonara, tenun ini dipakai dalam berbagai acara seperti upacara adat, pernikahan, pemakaman, dan hari-hari besar lainnya, baik hari besar nasional ataupun hari besar agama. Selain itu, kain tenun ini juga dikenakan sehari-hari oleh masyarakat Adonara dan dijadikan cendramata bagi wisatawan yang berkunjung ke sana.  Tenun Adonara memiliki tiga motif, pertama motif dengan warna-warni bergaris lurus lebar merupakan kain Kewatek (berbentuk seperti sarung), yang kedua motif dengan warna yang monoton serta bergaris lurus kecil-kecil adalah Nowing (berbentuk seperti sarung) dan yang ketiga motif berwarna dan bergaris lurus a...

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba...

Yang Berharga, Hiduplah Lebih Lama

Satu hal yang pasti bahwa mereka tidak lagi muda. Sebagian besar warna rambutnya sudah tak hitam, kerutan di tangan dan wajahnya kian tampak, beberapa gigi pun telah tanggal. Sudah lebih dari separuh abad, hidupnya di muka bumi. Kenyataan ini membuatku terisak, meski tanpa suara.  Aku berada jauh. Menyeberangi lautan dan udara. Baktiku tentu hanya setitik dibandingkan embusan perjuangan dan kasihnya. Fakta ini, membuat genangan di mataku sering tumpah, meski lagi-lagi tanpa suara. Perempuan itu begitu lembut tapi juga tegas. Aku dan dirinya sering kali beradu. Maklum, egoku yang teramat kental susah sekali dicairkan. Tapi doa-doanya adalah payung atas segala badai. Hidupku adalah berkat dari sujud panjangnya dan rapalan kalimat yang ia tuangkan merayu Sang Tuhan.  Sementara itu, seorang pria gagah dengan tangan lebar dan sedikit kasar. Telapak kakinya pun demikian. Tapi dari tangan dan kaki itulah aku tumbuh dan berdikari; menjadi kaktus di tengah gersang, menjadi api di tenga...