Langsung ke konten utama

Insecure di Usia 20++

 

Loc: Pantai Ina Burak

USIA kepala dua menuju seperempat abad kehidupan di dunia, waktu yang tidak sebentar tapi terasa amat singkat. Leha-leha, terbuai waktu, sementara tahun terus berganti, umur bertambah, jatah hidup berkurang.

Sudah ngapain aja di hidup yang mendekati seperempat abad ini?

Jika berkaca dengan para pemuda di masa kejayaan Islam beberapa abad lalu, sepertinya kita harus tertampar. Betapa kualitas diri kita terbentang sangat jauh dibandingkan pemuda muslim pada masa itu.

Di saat kebanyakan pemuda saat ini berumur 21 tahun sudah besar kepala karena menaklukkan hati wanita, Muhammad Al Fatih di usia yang sama pada masanya sudah mampu menaklukkan Konstantinopel, yang sekarang bernama Istanbul --kota terbesar di Turki.

Kalau boleh flashback sedikit, saat umur 8 tahun, kita ngapain? bermain? Muhammad Al Fatih di umur 8 tahun sudah hafal seluruh ayat Al Quran. Sedangkan kita, di usia 20+ ini, berapa ayat suci yang ada di kepala kita?


Di saat pemuda masih bingung dengan mimpinya, ragu dengan cita-citanya, mau jadi apa, mau berbuat apa, Muhammad Al Fatih sudah bertekad lantang sejak kecil, "Ayah, aku ingin membebaskan Konstantinopel!"

Di saat kita sering mengeluh karena sedang melewati quarter life dengan segudang masalah dan tekanan hidup lalu menjadi 'Si paling tersakiti', Muhammad Al Fatih sudah dibebankan amanah besar bahkan sejak ia lahir ke dunia. Ia menjadi harapan tiga generasi akan pembebasan Konstantinopel, janji Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam ratusan tahun silam. Harapan 600 tahun perjuangan para pendahulunya itu dipindahkan ke pundaknya.

Di umur 19 tahun, Muhammad Al Fatih sudah diangkat menjadi raja. Tak terhitung berapa banyak orang yang merendahkannya karena ia masih sangat belia untuk memegang amanat itu, tapi mentalnya begitu kuat, hatinya seluas samudera. Ia tak gentar dan membuktikan, pemuda itu tumbuh menjadi raja yang cerdas dan bijak.

Lihat! Kita senang bersembunyi di balik 'Menjaga kesehatan mental' yang kemudian malah membuat kita begitu lembek. Padahal bukan seperti itu merawat mental yang baik.

Tak heran jika saat ini kita masih begini-begini saja. Malah menyalahkan takdir, menghardik keadaan yang katanya tak adil.

Di usia 20+, kita masih asik bersenang-senang, maraton film, nongkrong berjam-jam tanpa diskusi sehat. Sedangkan Muhammad Al Fatih memilih meningkatkan kemampuan fisik dan potensi otaknya. Ia kuasai bela diri, memanah, berkuda, strategi perang, ilmu fiqh, hadis, astronomi, dan matematika. Ia kuasai pula berbagai bahasa; Arab, Turki, Persia, Ibrani, Latin, dan Yunani.

Sementara kita, skill apa yang sudah kita kuasai? Skill marketing? Manajemen media sosial? Menulis? Editing? Coding? Komunikasi? Atau skill lainnya yang diperlukan di era modern ini, sudahkah kita kuasai? Bahasa apa yang sudah kita pelajari? Perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia saja kita masih kurang, publik speaking-nya apalagi.

BACA JUGA: Tuhan, Dunia ini Melelahkan

Di saat pemuda menguras air mata untuk kekasihnya yang tak jelas, Muhammad Al Fatih membasahi matanya dengan tangisan permohonan ampun kepada Allah. Sejak baligh, tak pernah satu malam pun ia lewatkan tanpa tahajud.

Dalam satu bulan, berapa kali kita mampu mengangkat selimut untuk bangun mendirikan sholat tahajud?

Kita begitu kuat menjelajahi alam, mendaki gunung, menuruni lembah, berwisata ke berbagai daerah, tapi kita sangat lemah untuk mengangkat selimut bahkan di waktu subuh, apalagi di sepertiga malam.

Insecure sekali rasanya membaca kisah para pejuang yang begitu berpengaruh untuk dakwah Islam. Di tengah kemudahan-kemudahan yang ada di era serba canggih ini, seharusnya upaya kita untuk Islam bisa lebih kencang, lebih cepat, lebih baik. Tapi nyatanya kita di-ninabobo-kan oleh kemajuan zaman.

Astagfirullahaladzim!


-- diadaptasi dari buku 'Seni Tinggal di Bumi' karya Farah Qoonita

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenun Kwatek, Karya Tangan Perempuan Adonara

   Kwatek Adonara saat dikenakan Penulis SUDAH tidak asing lagi jika kita mengetahui bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kain tradisional. Begitu pula di Pulau Adonara. Pulau ini menjadi salah satu daerah yang memiliki kain tenun sebagai kain tradisionalnya. Pulau Adonara sendiri terletak di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat Adonara, tenun ini dipakai dalam berbagai acara seperti upacara adat, pernikahan, pemakaman, dan hari-hari besar lainnya, baik hari besar nasional ataupun hari besar agama. Selain itu, kain tenun ini juga dikenakan sehari-hari oleh masyarakat Adonara dan dijadikan cendramata bagi wisatawan yang berkunjung ke sana.  Tenun Adonara memiliki tiga motif, pertama motif dengan warna-warni bergaris lurus lebar merupakan kain Kewatek (berbentuk seperti sarung), yang kedua motif dengan warna yang monoton serta bergaris lurus kecil-kecil adalah Nowing (berbentuk seperti sarung) dan yang ketiga motif berwarna dan bergaris lurus a...

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba...

Yang Berharga, Hiduplah Lebih Lama

Satu hal yang pasti bahwa mereka tidak lagi muda. Sebagian besar warna rambutnya sudah tak hitam, kerutan di tangan dan wajahnya kian tampak, beberapa gigi pun telah tanggal. Sudah lebih dari separuh abad, hidupnya di muka bumi. Kenyataan ini membuatku terisak, meski tanpa suara.  Aku berada jauh. Menyeberangi lautan dan udara. Baktiku tentu hanya setitik dibandingkan embusan perjuangan dan kasihnya. Fakta ini, membuat genangan di mataku sering tumpah, meski lagi-lagi tanpa suara. Perempuan itu begitu lembut tapi juga tegas. Aku dan dirinya sering kali beradu. Maklum, egoku yang teramat kental susah sekali dicairkan. Tapi doa-doanya adalah payung atas segala badai. Hidupku adalah berkat dari sujud panjangnya dan rapalan kalimat yang ia tuangkan merayu Sang Tuhan.  Sementara itu, seorang pria gagah dengan tangan lebar dan sedikit kasar. Telapak kakinya pun demikian. Tapi dari tangan dan kaki itulah aku tumbuh dan berdikari; menjadi kaktus di tengah gersang, menjadi api di tenga...