Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2021

Banyak Hal Sederhana yang Luput Kita Syukuri

  Foto diambil saat hujan dan senyumanmu beradu di sini " AYO JALAN," ujarnya. Meskipun langit mendung, ia berusaha menunaikan janjinya. Biasalah, bagi seorang perempuan yang akan menggila jika berdiam di rumah saja sepertiku, jalan-jalan adalah suatu kewajiban yang berdosa jika tak ditunaikan. Tidak jauh, roda doa berputar mengantar kami menuju tempat 'ngopi' yang di sekeliling rumput hijau, asri. Setelah kopi diteguk, air langit turun. Tentu kesal, "baru juga keluar, udah ujan lagi," gumamku. Kami berteduh, memeluk diri masing-masing untuk menghalau angin yang membawa cipratan hujan. Kemudian entah dari mana pikiran ini datang, "Mengapa tidak mencoba mensyukuri hujan yang turun karena telah menahan kita untuk lebih lama di sini? Mengapa tidak bersyukur dengan gelas kopi yang sampai tuntas kita teguk bersama? Pada intinya kan kita hanya ingin bersama, bukan tentang mau ke mana." Ternyata hati lebih tenang jika lapang menerima dan bersyukur dala

Bicara Pada Diri Sendiri

HIDUP berdampingan dengan manusia membuat kita perlu menata bahasa dan perilaku. Beragam sifat dari masing-masing insan menyadarkan kita tentang penerimaan. Bertahun-tahun kita belajar menjadi manusia baik hati, tapi masih saja sulit menerima kesalahan orang lain. Hati kita kadang begitu tinggi untuk mengakui bahwa kita juga bisa salah. Merasa paling benar dan selalu benar. Ingin dimengerti tapi lupa untuk mulai mendengar dan memahami. Sering kali masygul atas suatu masalah namun enggan menyelesaikannya, memilih lari lalu menyalahkan orang lain. Lagi-lagi kita merasa paling benar dan selalu benar. Menjauhi orang sekitar, padahal kita saling membutuhkan. Seringkali merasa sendiri, padahal kita yang tak ingin ditemani. Merasa ditinggalkan, padahal kita yang melangkah pergi. Kita terlalu banyak merasa paling menderita, bersikeras mengklaim sebagai pihak yang tersakiti, padahal kita yang mengizinkan untuk disakiti. BACA JUGA: P U L A N G Memang tidak akan bisa menjadi manusia yang dise

Kita Lupa Menyiapkan Hati untuk Kecewa

Loc: Pantai Samsoge, Pulau Adonara KEPALA kita dipenuhi beragam ekspektasi tentang kehidupan. Hati kita diisi harapan-harapan untuk hari esok. Tetapi kita terkadang lupa menyiapkan ruang untuk rasa kecewa. Kita lupa, bahwa banyak hal bisa terjadi di luar kendali. Sebuah kalimat bijak yang mengatakan, "Hasil tidak akan mengkhianati proses" telah meracuni pikiran kita bahwa segala sesuatu memang harus dimenangkan. Padahal, perihal hasil akhir adalah urusan Tuhan, kewajiban kita hanyalah berproses. Tidak apa-apa jika kalah, tidak apa-apa jika gagal. Sesuatu bisa dinilai menang, karena ada yang kalah. Sesuatu dapat terlihat berhasil, karena ada yang gagal. Kehidupan memang seperti itu. Kita dipilih oleh-Nya untuk memainkan satu di antara dua peran tersebut. Dunia ini penuh dengan ketidakseimbangan. Tidak semua hasil berbanding lurus dengan jerih payah. Tidak sebuah kebaikan berbalas kebaikan pula. Jika kau mencari keadilan yang sempurna, memang bukan dunia tempatnya. B

Apakah Kamu Percaya Dengan Doamu?

Pict : Pinterest SAYA percaya, semua agama dan keyakinan menyuruh kita untuk berdoa. Kecuali jika Anda mengklaim diri Anda adalah atheis, tapi itu urusan Anda, saya tidak ingin ikut campur. Doa merupakan upaya menurunkan ego manusia, sebagai bentuk ketidakberdayaan, sebagai bukti bahwa kita adalah hamba, ya memang kita tidak akan menjadi apa-apa tanpa-Nya. Saya tidak akan berceramah atau memberikan siraman rohani, karena banyak orang enggan menerima nasihat, terlebih dari saya yang bukan siapa-siapa. Saya hanya ingin bertanya, seberapa percaya kamu dengan doa-doamu? Seberapa yakin doamu akan terkabul? Seberapa yakin Tuhan mendengar doamu? Ketika Anda berdoa, berharap suatu kebaikan datang padamu, kemudian Anda mengulang doa yang sama berkali-kali tapi disertai rasa ragu akan tercapai, maka sebaiknya Anda berhenti berdoa. Melakukan sesuatu yang diselimuti kekhawatiran dan sangsi bukanlah hal yang baik. BACA JUGA:  Siapkah Aku Jikalau Waktuku Telah Usai? Mengapa kita harus mel

Kehidupan Up Normal

SUDAH  berbulan-bulan kita menjalani kehidupan 'aneh' yang entah kamu menikmatinya atau tidak. masker pelindung wajah sudah jadi outfit wajib yang dibawa serta jika beranjak keluar rumah. Tidak lupa suhu badan harus stabil, di atas 36,5°celcius kamu 'bermasalah'. "Semprot tangan kanan dan kiri, jangan bersalaman apalagi berpelukan, duduk satu meter dariku, jangan mendekat atau kamu akan celaka" Konsep kehidupan dengan penuh ancaman tersebut menjadikan manusia-manusia dihantui rasa takut. Terserah percaya atau tidak soal virus paling 'membagongkan' ini, yang pasti kita berada dalam situasi Up Normal. Lahir literasi-literasi dengan data-data terpercaya yang dibawa oleh aneka ragam orang-orang berpengaruh di bumi ini. Sebagian berpihak pada protokol kesehatan, sebagian lainnya mengatakan bahwa kita tidak bisa merdeka jika menjadi kacung elit global. Saya tidak sedang membahas tentang virus yang  saat ini menguasai media dan isi kepala kalian seba

Siapkah Aku Jikalau Waktuku Telah Usai?

Bagaimana jika kita dipanggil saat kita belum siap? Bagaimana jika kita harus pulang tapi belum punya apa-apa? Bagaimana jika kita harus beranjak tapi tak ada bekal di tangan? Bagaimana bisa kita begitu angkuh menghadap-Nya dengan catatan baik yang mungkin saja nihil? Kita begitu matang mempersiapkan dengan siapa kita akan hidup bersama, di mana rumah yang megah akan kita bangun, liburan ke mana lagi di pekan ini, barang mewah apalagi yang akan kita beli, dan banyak planning lainnya yang membuat kita lupa bahwa setiap hari kita melangkah menuju kematian, semakin dekat. كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ "Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. dan Kami akan menguji kamu dengan keburukan serta kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kamilah kamu akan dikembalikan." (Q.S Al-Anbiya: 35) Tak ada yang salah dengan merangkai rencana untuk menjadi apa, dengan siapa di masa depan, hidup memang harus dita

Untuk Hidup...

UNTUK melanjutkan kehidupan, ada yang harus bergegas berjalan saat fajar belum benar-benar menyala dan pulang saat malam telah datang. Untuk melanjutkan kehidupan, ada yang harus berjemur di bawah terik mentari dengan harapan ada beberapa lembar rupiah yang bisa ditukar dengan sesuap nasi untuk keluarga di rumah. Untuk melanjutkan kehidupan, ada yang rela berbasah-basah dengan peluh demi memberikan senyuman untuk si buah hati. Untuk melanjutkan kehidupan, ada yang berdiri kokoh dihantam badai padahal keriput di pipinya semakin nyata. Untuk melanjutkan kehidupan, ada yang lupa menikmati hari tua, tetap bekerja meski tubuh sudah digerogoti usia.  Jika kamu salah satu dari mereka, tandanya kamu hebat dan kuat. Jika nasibmu ternyata lebih beruntung, semoga tidak membuatmu lupa bahwa ada rezeki orang lain yang dititipkan lewat kamu. Banyak cara Tuhan untuk menunjukkan kasih sayangNya. Sudahkah kita bersyukur? BACA JUGA : Menyepi Sejenak untuk Tenang

Tenun Kwatek, Karya Tangan Perempuan Adonara

   Kwatek Adonara saat dikenakan Penulis SUDAH tidak asing lagi jika kita mengetahui bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kain tradisional. Begitu pula di Pulau Adonara. Pulau ini menjadi salah satu daerah yang memiliki kain tenun sebagai kain tradisionalnya. Pulau Adonara sendiri terletak di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat Adonara, tenun ini dipakai dalam berbagai acara seperti upacara adat, pernikahan, pemakaman, dan hari-hari besar lainnya, baik hari besar nasional ataupun hari besar agama. Selain itu, kain tenun ini juga dikenakan sehari-hari oleh masyarakat Adonara dan dijadikan cendramata bagi wisatawan yang berkunjung ke sana.  Tenun Adonara memiliki tiga motif, pertama motif dengan warna-warni bergaris lurus lebar merupakan kain Kewatek (berbentuk seperti sarung), yang kedua motif dengan warna yang monoton serta bergaris lurus kecil-kecil adalah Nowing (berbentuk seperti sarung) dan yang ketiga motif berwarna dan bergaris lurus adalah Senai (s

Menjadi Indonesia Timur itu Berat, Sayang...

  MENJADI Indonesia Timur itu berat. Kami mengalami berbagai macam stereotype seperti "Miskin", "Bodoh", "Berisik", "Kasar", "Rusuh", "Tertinggal". Tentu masih banyak lagi stereotype yang dilabelkan pada kami. Mungkin stereotypes tersebut dilihat dari fakta beberapa orang Timur yang seperti itu, tetapi mengapa tidak mengambil sampel yang baik. Betapa banyak orang-orang dari Indonesia Timur yang memiliki peran dan mengharumkan nama bangsa. Alm. Glenn Fredly (Musisi), Jonathan Warinussy (Entrepreneur muda), Grandprix Thomryes Marth Kadja (doktor termuda di Indonesia), Prof. DR. Ir. Herman Johannes (Pahlawan Nasional), Alm. Ali Taher Parasong (anggota DPR RI), Johny G. Plate (Menteri Komunikasi dan Informasi RI), Melly Goeslaw (Musisi), Prilly Latuconsina (Aktris), Reza Rahardian (Aktor), Marion Jola (Penyanyi), Andmesh Kamaleng (Penyanyi), Sunny Kamengmau (Pendiri tas Robita), Bara Pattiradja (Penulis), serta masih banyak lagi

Nilai sebuah Tulisan

DI TULISAN kali ini, saya tidak ingin membahas apa-apa, hanya sekadar menulis yang entah akan terbaca atau tidak. Jika terbaca pun, saya rasa kamu akan memahami dengan cara pandangmu, tapi tidak masalah, karena setiap tulisan bisa dimaknai dengan berbagai macam sudut pandang, itulah nilai seninya. Mungkin akan sia-sia waktumu melanjutkan bacaan ini, tapi jika kamu memilih untuk terus membacanya, terima kasih, kita memang kawan. Mengapa kita menulis? Setiap manusia di satu titik ingin untuk didengarkan, tapi tidak semua orang mampu menjadi pendengar yang baik, itulah mengapa kita memilih untuk menulis. Tulisan mungkin tidak menyelesaikan masalahmu, tapi ia melegakan bukan? Coba saja. Dengan tulisan kita bisa mengadu tanpa mendengar sanggahan atau perbandingan nasib. Dengan tulisan kita tidak perlu mendengar aneka saran yang ternyata sama sekali tak memperbaiki. Jika kamu bertanya apa nilai sebuah tulisan bagiku, akan ku jawab, "Ia adalah nyawa dari si Penulis." T

Menyepi Sejenak untuk Tenang

TERKADANG banyak orang yang bertanya tentang masalahmu, hanya sekadar ingin tahu, bukan karena ingin memahamimu.  Terkadang banyak hal yang akan lebih baik jika tidak diceritakan pada orang lain. Bukan karena enggan berbagi, hanya saja tidak akan ada yang mengerti posisimu kecuali dirimu sendiri. Terkadang memang bercengkrama dengan sepi jauh lebih menenangkan. Bukan karena tak suka berteman, tapi tidak semua teman layak dipercaya. Terkadang menghabiskan waktu sendirian adalah suatu kebaikan, jika berkumpul di keramaian hanya menyebabkan kegaduhan. Terkadang diam-diam menguatkan diri sendiri, jauh lebih mempan daripada motivasi dari orang sekitar yang diam-diam ternyata menjatuhkan. Itulah mengapa terbiasa sendiri bukan berarti menyukai sepi, tapi karena terlalu banyak ramai tak juga mengerti.** BACA JUGA : Tuhan, Dunia ini Melelahkan Terima Kasih atas Kisah dan Kasih

Tuhan, Dunia ini Melelahkan

DUNIA semakin lama semakin terasa menjenuhkan, juga melelahkan. Seperti ruangan hitam kosong, tak ada warna, tak berisi apapun, hampa. Semua seolah diam dan sunyi. Tinggal diri sendiri terperangkap dalam keheningan. Sebenarnya tidak sendirian, tapi mengapa terasa sepi. Usia bertambah, sudah kepala dua rupanya. Benar-benar waktu berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin belajar mengeja huruf-huruf, tapi ternyata... Ah, sudahlah. Tuhan, apa aku yang terlalu jauh dariMu? Apa aku terlalu mengejar dunia?  BACA JUGA : Hari ke-11 di 2021 Banyak sekali hiruk pikuk dunia yang begitu rumit untuk dipahami. Menjadi dewasa sebegini sulitnya. Banyak hal-hal di luar kendali. Isi kepala teramat riuh, sampai untuk tenang saja butuh kekuatan. Aku bahkan tak paham, sudah sampai mana aku berjalan. Apa mungkin aku belum mulai melangkah? Tuhan, entah di angka berapa umur ini akan berhenti. Entah seperti apa kehidupanku akan berakhir. Tetapi ada banyak harap yang ku langitkan padaMu, semoga satu per satu d

Hari ke-11 di 2021

Hari ke-11 di 2021 Masih sangat dini ya.. Tetapi berbagai peristiwa memilukan sudah kembali terjadi. Longsor di Sumedang dan jatuhnya pesawat Sriwijawa Air SJ 182 seolah membuka awal tahun ini. Kita dikejutkan dengan peristiwa yang mengiris hati dan menguras air mata. Isak lirih dari penjuru negeri kembali terdengar. Kita tak pernah tahu apa yang terjadi esok hari. Siapa lagi yang akan pergi, siapa lagi yang akan ditinggal pergi. Apakah Tuhan kejam membuat kita menangis di awal tahun? Tidak, sama sekali tidak. Percayalah. Menghujat takdir hanya menggarami luka yang menganga.  Mereka yang pergi, sejatinya hanya pulang, pulang pada Sang Pemilik. Nah toh, tidak ada yang benar-benar kita miliki, segalanya adalah titipan, bisa diambil kapan saja, di mana saja oleh Sang Pemilik. Mari kita saling menguatkan, saling mengingatkan. Berdoa untuk para almarhum agar mereka damai di sisi Tuhan Yang Maha Penyayang. Kita semua akan menyusul, entah kapan. Bisa esok atau setelah membaca postingan ini.**