Langsung ke konten utama

Masa Depan Anak Pesisir Adonara

Lokasi: Pantai Dua, Adonara Timur

INDONESIA merupakan negara maritim. Sehingga tidak heran jika di Indonesia banyak masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dan bekerja sebagai nelayan.

Pulau Adonara yang berada di Kabupaten Flores Timur, NTT, menjadi salah satu daerah yang memiliki banyak pantai. Masyarakat Adonara yang menetap di pesisir, tentunya berprofesi sebagai nelayan, dari yang tua sampai yang muda. Dari bapak-bapak sampai anak-anak usia sekolah.

Di pulau ini, anak-anak usia sekolah menjadi nelayan adalah hal yang lumrah. Pilihan menjadi nelayan bukan hanya semata membantu orang tuanya, tapi mereka memang enggan untuk melanjutkan pendidikan. Jangankan sampai perguruan tinggi, setingkat SMP atau SMA saja sudah cukup baik. Bahkan sebagian dari mereka memilih untuk tidak mengenyam pendidikan sama sekali.

Bagi masyarakat pesisir Adonara, menjadi nelayan lebih menguntungkan ketimbang menjadi seorang sarjana. Pandangan seperti ini lahir didasari oleh banyaknya sarjana yang menganggur di daerah tersebut.

Mereka bahkan memiliki jargon yang berbunyi, "Go mae? Lo lau !!", dalam bahasa setempat yang memiliki arti "Mau makan enak? Pergi saja ke laut!".

Jargon tersebut bisa jadi benar. Karena ketika musim ikan atau musim bulan gelap, hasil dari nelayan selama sehari saja, jika dirupiahkan bisa dua kali lebih besar dari gaji guru honorer yang ada di Adonara. 

Namun di situlah benang merahnya. Penghasilan mereka tergantung hukum alam. Ketika bulan terang, mereka beralih profesi menjadi tukang ojek yang penghasilannya dalam sehari mungkin juga tidak cukup untuk makan satu keluarga selama sehari semalam.

Masalah seperti ini tentu membutuhkan jalan keluar agar masyarakat setempat mampu menyadari pentingnya ilmu pengetahuan dan pendidikan. 

Perlu adanya sosialisasi untuk membuka pandangan mereka bahwa bekerja dengan otak lebih menguntungkan ketimbang bekerja dengan otot. Kekuatan tubuh untuk bekerja menggunakan fisik, bisa lekang oleh waktu. Tapi orang yang berilmu akan terus dicari, meski ia telah sepuh.

Profesi nelayan bukanlah profesi yang buruk. Akan tetapi harus ada pembaharuan dalam metode penangkapan dan pengolahan hasil laut. Sehingga keuntungan yang didapatkan lebih banyak, tetapi bisa meminimalisir tenaga yang dikeluarkan. Di sinilah pentingnya pendidikan.

Apabila anak-anak pesisir Adonara menempuh pendidikan dengan baik dan mendalami bidang yang cocok digeluti di daerah pesisir, maka timbal baliknya bukan hanya terjadi pada diri mereka sendiri, tapi juga bagi daerah Adonara.**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film “Dirty Vote,” Bukti Kebiadaban Pemerintahan Jokowi

PERINGATAN : Tulisan ini bukan kajian ilmiah yang tersusun rapi dengan kalimat akademik dan sajian data konkrit. Bukan juga berisi pujian untuk menyanjung junjunganmu. Jadi bagi Anda yang merasa pendukung fanatik Presiden Jokowi maupun paslon tertentu, sebaiknya Anda tidak perlu membaca tulisan yang isinya hanya “sumpah serapah” untuk idolamu itu. FILM dokumenter “Dirty Vote” tayang hari ini, Ahad, 11 Februari 2024 pukul 11.11 WIB di kanal YouTube Dirty Vote. Saya buru-buru mengunduh film tersebut, khawatir sewaktu-waktu bisa di-takedown. Ya, saya memang sangat pesimis dengan kebebasan berbicara/berekspresi di negeri yang katanya demokrasi ini. Pukul 20.00 WIB, film tersebut selesai saya tonton. Bergegas saya buka Microsoft Word yang ada di laptop untuk menuangkan segala emosi yang terangkum selama menyaksikan “Dirty Vote.” Film yang disutradarai Dandhy Laksono ini kembali berhasil membuat saya meneteskan air mata. Bisa dibilang, jejak air itu belum sepenuhnya kering saat tulisan

Tepung Seharga Nyawa Manusia

Alkisah, di sebuah kota suci nan subur Hidup manusia mulia yang diserang sekelompok penjahat bengis; tak berhati dan tak pula berakal Para penjahat itu bermodalkan kebodohan dan keserakahah Dengan besar kepala mereka melawan kebenaran  Lucunya, langkah kejahatan itu didukung oleh pamannya, Paman Sam Lalu ketika seluruh hati di dunia terketuk dan mengutuk, Paman Sam tiba-tiba berubah peran Ambil langkah "kemanusiaan" Pura-pura berbaik hati Bah, pandai kali aktingnya Kirim bantuan lewat udara Jatuhkan makanan dari langit pantai Gaza Warga setempat yang kelaparan berlarian menuju ke situ Ternyata itu bukan hanya tempat makanan tapi juga tempat pemakaman Tepung yang dijatuhkan Paman Sam, seharga 150 nyawa manusia Mereka meregang nyawa di atas peti makanan Belum sempat mereka merasa kenyang, darahnya sudah lebih dulu terkuras Peti bantuan itu mendadak berubah warna Menjadi merah Semerah darah para syuhada Wanginya semerbak menembus layar handphone di gengaman umat manusia Aromanya

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba