Langsung ke konten utama

UU ITE, Bersuara Berarti Dipenjara?

 



"Lawan berdebat adalah teman berpikir. Jadi orang yang menghalangi kebebasan berpendapat adalah orang yang ingin mengurangi teman berpikir. Saya harap negara jangan melakukan itu"

- Said Didu - 


UNDANG-UNDANG Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) saat ini menjadi momok bagi masyarakat. Banyak mereka yang bersuara lantang di media sosial, mengkritik kebijakan pemerintah malah dipidanakan dengan dalih melanggar UU ITE.

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, aktivis dan pengacara Veronica Koman dan jurnalis juga musisi Ananda Badudu adalah beberapa korban dari penyalahgunaan UU ITE.

Yang masih hangat di ingatan kita adalah kasus maestro Ahmad Dhani dan drummer dari grup band Superman is Dead, I Gede Ari Astina atau yang lebih dikenal dengan Jerinx.

Selain itu masih banyak lagi orang-orang yang ditangkap dan dipenjara atas tuduhan melanggar UU ITE.

UU ITE diterbitkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada masa pemerintahannya di tahun 2008, sepuluh tahun setelah perjuangan reformasi untuk melindungi kebebasan warga negara dalam berekspresi dan mengeluarkan pendapat.

Namun menjadi ironis karena dalam pelaksanaannya UU ITE malah mengancam dan membatasi kebebasan berekspresi yang telah diperjuangkan pada era reformasi 1998.

SBY mengeluarkan UU ITE bertujuan untuk melindungi konsumen dalam melakukan transaksi elektronik yang telah merambat di tengah penggunaan internet dalam perekonomian nasional.

Sehingga UU ITE sejatinya bertujuan untuk melindungi masyarakat dari penipuan online atau kejahatan lain yang berasal dari media elektronik.

Namun saat ini, UU ITE disalahgunakan oleh pemerintah dan aparat untuk membungkam pihak yang berani mengkritik negara. Seolah-olah masyarakat diwajibkan untuk tunduk. Bersuara berarti dipenjara. Hal inilah yang mencedari nilai demokrasi di bangsa ini.

Data tahun 2019, Organisasi Pengawas Independen untuk Demokrasi dan Kebebasan Freedom House, menyatakan status Indonesia turun dari bebas menjadi separuh bebas menjelang akhir pemerintahan SBY pada tahun 2014. Peringkat Indonesia dalam indeks kebebasan internet turun dari posisi 41 tahun 2013 menjadi 42 pada tahun berikutnya.


Kondisi bertambah buruk pada pemerintahan Jokowi, figur presiden yang diharapkan dapat membawa perubahan baru dalam lanskap kebebasan berekspresi di Indonesia dengan latar belakang yang bebas dari militer dan politik.

Namun kenyataannya, di bawah pemerintahan Jokowi, indikator kebebasan sipil turun dari 34 pada 2018 menjadi 32 pada 2019. Sementara indeks kebebasan berekspresi turun dari 12 pada tahun 2015 menjadi 11 pada 2019.

Analisis Kebijakan Publik, Said Didu menyatakan bahwa UU ITE digunakan untuk menjaga informasi dan transaksi elektronik, tapi mengapa kini malah digunakan untuk mengawasi transaksi pemikiran bahkan perasaan. Kita bisa dipenjara hanya karena kata-kata kita dianggap menyinggung orang lain, padahal bisa saja itu hanya karena perbedaan kultural.

Jika UU ITE ini diterapkan dengan benar, seharusnya kasus korupsi Jiwasraya dan e-KTP sudah selesai. Tapi sampai hari ini, kasus tersebut masih belum jelas ujungnya. Mengapa tidak kasus-kasus korupsi dalam dunia digital ini yang dituntaskan? Mengapa malah sibuk mengancam kebebasan berekspresi masyarakat?

Kebebasan berpendapat dilindungi oleh UUD 1945 pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Pejabat publik dipilih oleh rakyat untuk bisa mengurus negara ini dengan baik. Semua sandang, pangan, papan yang digunakan oleh pejabat publik berasal dari rakyat. Maka jangan marah jika rakyat mengkritisi kebijakan yang dipilih oleh pemerintah.

Jangan jadikan UU ITE sebagai alat untuk membungkam pihak-pihak oposisi.

Jangan sampai demokrasi di negara ini hanya berlaku ketika pemilu saja. Saat pemilu suara rakyat dihargai, selepas itu rakyat bersuara malah dijerat pasal karet.

Menurut data Amnesty International Indonesia, ada 241 orang yang dikriminalisasi karena mengkritik otoritas atau pemerintahan Jokowi selama periode Oktober 2014 hingga Juli 2019.

Jika UU ITE ini malah digunakan untuk mengawasi ketersinggungan, berarti benar jika saat ini masyarakat menggunakan istilah "Pemerintah Kita Baperan".

Saya rasa menghina seseorang, baik pemerintah maupun masyarakat secara personal, seperti menghina fisik, ras atau agamanya memang merupakan hal yang salah. Hal seperti ini yang tentunya bisa ditindak pidana.

Tetapi menjadi lumrah ketika yang dikritik adalah kebijakan politiknya yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara. Akan aneh apabila perbedaan pendapat dianggap sebagai tindakan kriminal.

Sehingga yang salah bukan UU ITE, tapi yang salah adalah cara mengaplikasikan undang-undang tersebut.**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film “Dirty Vote,” Bukti Kebiadaban Pemerintahan Jokowi

PERINGATAN : Tulisan ini bukan kajian ilmiah yang tersusun rapi dengan kalimat akademik dan sajian data konkrit. Bukan juga berisi pujian untuk menyanjung junjunganmu. Jadi bagi Anda yang merasa pendukung fanatik Presiden Jokowi maupun paslon tertentu, sebaiknya Anda tidak perlu membaca tulisan yang isinya hanya “sumpah serapah” untuk idolamu itu. FILM dokumenter “Dirty Vote” tayang hari ini, Ahad, 11 Februari 2024 pukul 11.11 WIB di kanal YouTube Dirty Vote. Saya buru-buru mengunduh film tersebut, khawatir sewaktu-waktu bisa di-takedown. Ya, saya memang sangat pesimis dengan kebebasan berbicara/berekspresi di negeri yang katanya demokrasi ini. Pukul 20.00 WIB, film tersebut selesai saya tonton. Bergegas saya buka Microsoft Word yang ada di laptop untuk menuangkan segala emosi yang terangkum selama menyaksikan “Dirty Vote.” Film yang disutradarai Dandhy Laksono ini kembali berhasil membuat saya meneteskan air mata. Bisa dibilang, jejak air itu belum sepenuhnya kering saat tulisan

Tepung Seharga Nyawa Manusia

Alkisah, di sebuah kota suci nan subur Hidup manusia mulia yang diserang sekelompok penjahat bengis; tak berhati dan tak pula berakal Para penjahat itu bermodalkan kebodohan dan keserakahah Dengan besar kepala mereka melawan kebenaran  Lucunya, langkah kejahatan itu didukung oleh pamannya, Paman Sam Lalu ketika seluruh hati di dunia terketuk dan mengutuk, Paman Sam tiba-tiba berubah peran Ambil langkah "kemanusiaan" Pura-pura berbaik hati Bah, pandai kali aktingnya Kirim bantuan lewat udara Jatuhkan makanan dari langit pantai Gaza Warga setempat yang kelaparan berlarian menuju ke situ Ternyata itu bukan hanya tempat makanan tapi juga tempat pemakaman Tepung yang dijatuhkan Paman Sam, seharga 150 nyawa manusia Mereka meregang nyawa di atas peti makanan Belum sempat mereka merasa kenyang, darahnya sudah lebih dulu terkuras Peti bantuan itu mendadak berubah warna Menjadi merah Semerah darah para syuhada Wanginya semerbak menembus layar handphone di gengaman umat manusia Aromanya

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba