Langsung ke konten utama

60 Ribu Hektar Hutan Papua Dibakar, Kok Pemerintah Diam Saja?


SUDAH berapa kali kita mendengar kebakaran hutan terjadi di negeri ini?

Berapa kali kita membaca tentang masyarakat dan hutan adat yang dikebiri haknya?

Berapa kali kita menemukan fakta bahwa daerah timur dianaktirikan lagi dan lagi oleh negara sendiri?

Kemarin, BBC News Indonesia membagikan sebuah video eksklusif tentang kebakaran hutan yang dilakukan oleh Perusahaan Korea Selatan, Korindo Group, perusahaan kelapa sawit yang ada di Papua. 

Papua adalah rumah bagi hutan hujan terluas yang tersisa di Asia. Tapi saat ini, keberadaan hutan tersebut benar-benar terancam.

Dari investigasi yang dilakukan oleh BBC News, Korindo telah membuka sekitar 60.000 hektar, setara dengan luas Kota Seoul, di atas lahan konsesi yang diberikan oleh pemerintah.

Timbul pertanyaan, mengapa bisa hutan adat seperti itu diserahkan ke perusahaan asing tanpa persetujuan masyarakat adat?

Bertahun-tahun lamanya masyarakat adat menjaga keasrian hutan tersebut. Tetapi dengan dalih memajukan ekonomi bangsa, perusahaan asing dizinkan oleh pemerintah membuka perusahaan industri di sana.

Lalu apakah masyarakat di sana, saat ini hidup dengan bergelimangan harta? Jika alasannya memperbaiki sistem ekonomi, maka seharusnya yang paling diuntungkan dari adanya perusahaan ini ialah masyarakat setempat. Tapi faktanya malah terbalik. Investor semakin tebal kantongnya dan masyarakat adat kehilangan haknya. Mau mengadu kemana?

Menurut warga sekitar area konsesi, Kampung Tagaepe dan Nakias, pembakaran hutan telah terjadi bertahun-tahun sejak pertama kali Korindo memulai membuka lahan. Warga setempat juga mengaku bahwa saat pembakaran hutan, langit benar-benar tertutup asap.


Hal ini menunjukkan bahwa lahan yang dibakar bukan satu dua hektar saja. Bukan dua tiga pohon saja, ratusan, ribuan. Siapa saja yang menjadi korban? Tentunya flora, fauna juga manusia.

Atas penyelidikan dari Investigasi Visual oleh Forensic Architecture, terdapat foto dan video yang menunjukkan api dan kepulan asap berasal dari lahan tersebut.

Ada lagi fakta yang ditemukan oleh Greenpeace International, terdapat video udara yang menunjukkan kumpulan kayu terbakar. 

Setelah adanya bukti visual tersebut, peneliti menggunakan sistem geolokasi dan menemukan kebakaran terjadi di lahan konsesi Korindo.

Fakta-fakta di atas sudah sangat jelas. Tapi pihak Korindo masih saja membantah dan menuding masyarakat setempat sebagai penyebab terjadinya kebakaran hutan.

Melihat hal ini, seharusnya pemerintah bisa bersikap tegas atas pelanggaran yang dilakukan oleh Korindo.

Menurut UU Lingkungan Hidup dan UU Perkebunan, membuka lahan dengan menggunakan api adalah suatu pelanggaran hukum. Korindo telah melanggar aturan itu, apakah masih ada alasan ia bebas dari hukuman? 

Area lahan yang dulunya adalah hutan belantara yang lebat, kini berubah menjadi hamparan kelapa sawit milik Korindo. Siapa yang diuntungkan? Apakah masyarakat setempat? Tentu tidak. 

Masyarakat adat tetap menjadi pekerja kasar yang dikambinghitamkan dari kejadian kebakaran hutan. Perusahaan semakin jaya, nah toh hukum Indonesia bisa dibeli. Semua bisa tenang jika punya uang. 

Korindo mengaku bahwa telah menyiapkan lapangan kerja dan kesejahteraan untuk masyarakat setempat. Kesejahteraan yang mana yang mereka maksud? Barangkali kesejahteraan untuk perutnya sendiri.

Marga pemilik ulayat berduka kehilangan hutan adat tersebut. Marah rasanya percuma. Yang mampu mereka tunjukkan hanya rasa kekecewaan dan air mata. Sebab untuk mendengarkan suara-suara minor, telinga pemerintah sudah tuli.**


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenun Kwatek, Karya Tangan Perempuan Adonara

   Kwatek Adonara saat dikenakan Penulis SUDAH tidak asing lagi jika kita mengetahui bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kain tradisional. Begitu pula di Pulau Adonara. Pulau ini menjadi salah satu daerah yang memiliki kain tenun sebagai kain tradisionalnya. Pulau Adonara sendiri terletak di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat Adonara, tenun ini dipakai dalam berbagai acara seperti upacara adat, pernikahan, pemakaman, dan hari-hari besar lainnya, baik hari besar nasional ataupun hari besar agama. Selain itu, kain tenun ini juga dikenakan sehari-hari oleh masyarakat Adonara dan dijadikan cendramata bagi wisatawan yang berkunjung ke sana.  Tenun Adonara memiliki tiga motif, pertama motif dengan warna-warni bergaris lurus lebar merupakan kain Kewatek (berbentuk seperti sarung), yang kedua motif dengan warna yang monoton serta bergaris lurus kecil-kecil adalah Nowing (berbentuk seperti sarung) dan yang ketiga motif berwarna dan bergaris lurus a...

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba...

Yang Berharga, Hiduplah Lebih Lama

Satu hal yang pasti bahwa mereka tidak lagi muda. Sebagian besar warna rambutnya sudah tak hitam, kerutan di tangan dan wajahnya kian tampak, beberapa gigi pun telah tanggal. Sudah lebih dari separuh abad, hidupnya di muka bumi. Kenyataan ini membuatku terisak, meski tanpa suara.  Aku berada jauh. Menyeberangi lautan dan udara. Baktiku tentu hanya setitik dibandingkan embusan perjuangan dan kasihnya. Fakta ini, membuat genangan di mataku sering tumpah, meski lagi-lagi tanpa suara. Perempuan itu begitu lembut tapi juga tegas. Aku dan dirinya sering kali beradu. Maklum, egoku yang teramat kental susah sekali dicairkan. Tapi doa-doanya adalah payung atas segala badai. Hidupku adalah berkat dari sujud panjangnya dan rapalan kalimat yang ia tuangkan merayu Sang Tuhan.  Sementara itu, seorang pria gagah dengan tangan lebar dan sedikit kasar. Telapak kakinya pun demikian. Tapi dari tangan dan kaki itulah aku tumbuh dan berdikari; menjadi kaktus di tengah gersang, menjadi api di tenga...