PERINGATAN:
Tulisan ini bukan kajian ilmiah yang tersusun rapi dengan kalimat akademik dan
sajian data konkrit. Bukan juga berisi pujian untuk menyanjung junjunganmu.
Jadi bagi Anda yang merasa pendukung fanatik Presiden Jokowi maupun paslon
tertentu, sebaiknya Anda tidak perlu membaca tulisan yang isinya hanya “sumpah
serapah” untuk idolamu itu.
FILM dokumenter
“Dirty Vote” tayang hari ini, Ahad, 11 Februari 2024 pukul 11.11 WIB di kanal
YouTube Dirty Vote. Saya buru-buru mengunduh film tersebut, khawatir
sewaktu-waktu bisa di-takedown. Ya, saya memang sangat pesimis dengan kebebasan
berbicara/berekspresi di negeri yang katanya demokrasi ini. Pukul 20.00 WIB,
film tersebut selesai saya tonton. Bergegas saya buka Microsoft Word yang ada
di laptop untuk menuangkan segala emosi yang terangkum selama menyaksikan “Dirty
Vote.”
Film yang
disutradarai Dandhy Laksono ini kembali berhasil membuat saya meneteskan air
mata. Bisa dibilang, jejak air itu belum sepenuhnya kering saat tulisan ini
diketik. Sedih? Sangat. Marah? Sudah pasti.
Sebagai
rakyat biasa, film ini membuat saya semakin membenci Presiden Jokowi beserta kroninya,
bahkan keluarganya. Bagaimana bisa sosok yang sering dianggap merakyat, sederhana,
bahkan “plonga-plongo” itu memiliki tingkah laku yang begitu menjijikkan.
Jujur, saya bahkan ingin muntah ketika menyebut nama Presiden RI ke 7 itu.
Segala skenario
disusun sedemikian rupa dengan pelanggaran-pelanggaran yang begitu nyata
dipertontonkan. Panggung politik dikuasai oleh manusia-manusia binal yang penuh
dengan ketamakan dan arogansi. Semua lini digunakan untuk melanggengkan
kekuasaan, demi perut sendiri, demi putra tercinta, demi dapur keluarga. Sialnya,
kebiadaban ini dilakukan oleh orang nomor 1 di negeri ini.
Apa yang
dipaparkan tiga ahli hukum tata negara dalam film “Dirty Vote” benar-benar
membuka mata saya bahwa paslon nomor 02, Prabowo-Gibran sangat tidak layak
masuk dalam nominasi Pilpres 2024. Bahkan menjadi capres-cawapres pun mereka
tidak pantas, apalagi menjadi Presiden-Wakil Presiden. “Dosa Politik” kedua
manusia bejat serta pihak-pihak di belakangnya tidak bisa ditoleransi sama
sekali. Dengan begitu berani mereka mengangkangi konstitusi, aturan-aturan
diubah seenak jidat demi memuluskan cita-cita paling kotor itu.
Indonesia
bukan hanya sedang tidak baik-baik saja, kita bahkan sudah sekarat. Presiden
negeri ini tidak tahu malu, didukung kelompok-kelompok borjuis yang juga haus
kekuasaan. Para penegak hukum pun mendadak lumpuh dan bisu, mereka melihat tapi
memilih diam. Impunitas jelas-jelas tampak di depan mata. Putra Mahkota
melenggang dengan nyaman, Sang Ayah memberikan pengawalan Istimewa.
Terbentuklah Dinasti Jokowi. 14 Februari sebentar lagi, kita tunggu hasilnya.
Akankah Putra Mahkota benar-benar naik tahta? Atau masih ada sedikit keadilan
dan kejujuran tersisa di negeri ini?
Lucunya, dua
jam setelah “Dirty Vote” tayang, TKN Prabowo-Gibran menggelar konferensi pers dengan
menuduh film dokumenter yang penuh data dari para ahli hingga kajian mendalam
ini sebagai fitnah belaka. Terlihat sekali ada kepanikan dan ketakutan di pihak
paslon 02. Data-data akurat itu dibantah menggunakan klarifikasi “omon-omon”
yang memuakkan. Saya bahkan terheran-heran, bagaimana bisa ada orang-orang setidak
tahu malu ini?
Padahal
film itu tidak hanya membuka busuknya pemerintahan Jokowi yang berusaha
memenangkan paslon 02, boroknya koalisi 01 dan 03 pun dijabarkan. Hanya saja, “kebetulan”
02 yang paling niretika dan cacat moral, sehingga wajar kalau celahnya paling
besar. Dan terbukti, pihak 02 ketar-ketir, “gercep” mengadakan konferensi pers
untuk menutupi bangkai yang sebenarnya sudah terlihat, bukan cuma sekadar
terendus.
Tulisan ini
merupakan bentuk kekecewaan rakyat melihat sosok pemimpim problematik yang
berhasil melahirkan anak haram konstitusi. Sebagai rakyat, kita sangat berhak
marah. Presiden adalah pelayan masyarakat. Kepentingan kita seharusnya
diutamakan olehnya. Kita yang menggaji dirinya, rumah sampai dengan celana
dalam yang ia kenakan dibiayai oleh keringat rakyat Indonesia. Bisa-bisanya
dengan pongah ia mengkhianati majikan yang memberinya makan dan menghidupi
keluarganya. Keluarga yang sama-sama tidak tahu malu.
Pemilu
sebagai pesta demokrasi yang seharusnya dirayakan oleh seluruh elemen bangsa,
mulai dari pucuk kekuasaan sampai kepada akar rumput malah menjadi pertunjukkan
paling keji yang menodai demokrasi.
Saya sangat
setuju dengan pernyataan penutup dari Bivitri Susanti, salah satu pakar hukum
tata negara yang tampil di film “Dirty Vote.” Begini katanya, “Untuk menyusun dan
menjalankan skenario kotor seperti ini tak perlu kepintaran dan kecerdasan. Yang
diperlukan cuma dua; mental culas dan tahan malu.”
Jika Anda belum
menonton film “Dirty Vote,” tonton segera. Waktu dua jam Anda untuk menyaksikan
film dokumenter itu tidak akan percuma.
Saya sangat berterimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam film “Dirty Vote.” Terima kasih telah menghadirkan film yang sangat mengedukasi bagi kami sebagai masyarakat awam.***
Menyalaaaaaa
BalasHapusArinaaaaaaaaa 🔥🔥🔥🔥🔥🔥
BalasHapusAaaarrrgghhhh terwakilkan sekali. 🔥🔥
BalasHapus