Langsung ke konten utama

Anda Setuju Ibu Kota Negara Pindah?

Sumber: Kompas.com

BERITA tentang pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) begitu ramai menghiasi semua media. Ditambah Rancangan Undang-undang (RUU) IKN yang telah ketok palu menjadi Undang-undang (UU), menimbulkan beragam narasi dari berbagai pihak, baik yang setuju maupun yang bersikeras menolak.

Saya rasa, Anda sudah bisa menebak, saya ada di pihak yang mana.

UU IKN yang disahkan tiba-tiba, mengejutkan banyak pihak. IKN baru yang ditetapkan di Kota Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur seolah membangunkan berbagai asumsi dan pertanyaan, siapa yang diuntungkan dari pemindahan IKN ini?

Proses pengesahan UU IKN yang seolah-olah kejar tayang, sangat jelas mengabaikan aspirasi dan partisipasi masyarakat. Mengutip kalimat Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid dalam Topik Berita Radio Silaturahmi AM 720Khz edisi Rabu (19/1), "UU IKN dibahas terburu buru, bahkan dibahas sampai malam hari, juga tidak mengindahkan begitu banyak masukan dari para pakar." Lihat! Saya tidak sedang mengada-ada.

Anda mungkin akan terkejut ketika tahu bahwa di hari terakhir sebelum pengesahan UU tersebut, DPR membahasnya dalam rapat pukul 3 dini hari. Betapa rajin dan semangatnya para wakil kita ini. Sepertinya gaji dan tunjangan mereka perlu dinaikkan lagi.

Mari kita bahas, sebenarnya pemindahan IKN tidak memiliki alasan yang kuat.

Pertama, IKN merupakan jendela suatu negara di mata internasional. Sehingga sebuah kota yang ditetapkan sebagai IKN harus memiliki nilai historis dan filosofi yang mampu menggambarkan suatu negara. Dengan tidak memandang sebelah mata kota-kota yang ada di daerah lain, kita semua tahu, Jakarta merupakan pusat perjuangan bangsa ini sejak sebelum kita mengenal kata merdeka.

Lagi-lagi saya mengutip kalimat seorang tokoh; Mantan Penasihat KPK, Abdullah Hehamahua dalam Topik Berita Radio Silaturahmi AM 720Khz, edisi Jumat (21/1). Saya memang tidak cukup pandai untuk berargumen tanpa dasar, "IKN harus ada dasar filosofinya, Jakarta dulu namanya Batavia kemudian direbut oleh pahlawan yang namanya Jayakarta. Jadi Jakarta adalah pusat pergerakan, pusat revolusi, pusat perjuangan, maka ditetapkan sebagai IKN. Sekarang kalau ke Kaltim, apa dasar filosofinya? Sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai ibu kota negara." 

Kedua, alasan yang paling sering kita dengar; macet dan banjir. Alasan ini yang paling membuat saya tertawa. Anda tahu? Sebulan yang lalu, tiga pekan, bahkan satu pekan yang lalu setelah tulisan ini dimuat, Kota Penajam Paser Utara yang akan menjadi IKN baru, dilanda banjir. Anda boleh ikut tertawa sekarang.

Lalu kemacetan. Alasan ini membuat saya bingung. Ketika Penajam Paser Utara telah menjadi IKN yang otomatis juga akan menjadi metropolitan, seberapa yakin kota ini tidak akan macet? Apa harus membabat semua hutan Kalimantan untuk membangun jalan tol sebagai upaya mencegah kemacetan? Apa harus merampas tanah masyarakat adat untuk memperluas jalan raya? Saya pikir, pemerintah sedang tidak mengatasi kemacetan, mereka hanya sedang memindahkan kemacetan dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Mungkin akal saya yang tidak cukup mampu mencerna alasan ini, Anda bisa bantu jelaskan?

Baik, kita lanjut ke poin ketiga; kepadatan penduduk. Kita mungkin tidak asing dengan berbagai prediksi tentang Jakarta yang akan tenggelam karena menampung begitu banyak manusia dan infrastuktur di atasnya. 

Jika alasan ini digunakan, apakah nanti ketika IKN Baru mengalami kepadatan, maka kita akan pindah ibu kota lagi? Sepertinya pemerintah hanya perlu melakukan pembatasan urbanisasi, dengan membangun infrastruktur di desa, membuka lapangan pekerjaan di desa, menciptakan lembaga pendidikan yang baik di desa. Saya rasa ini cukup untuk menahan masyarakat desa untuk tidak berduyun-duyun pergi ke ibu kota.

Terakhir, yang paling mengkhawatirkan, yakni soal biaya. Awalnya Presiden Jokowi mengatakan, anggaran untuk IKN Baru ini tidak menggunakan APBN, namun Menteri Keuangan RI mengatakan pemindahan IKN ini menggunakan 19 persen dari APBN, 71 persen dari Swasta, serta dengan menjual aset negara yaitu perkantoran-perkantoran yang ada di Jakarta. Tapi ternyata pemerintah menggunakan 51 persen dari APBN, sedangkan biaya untuk pemindahan IKN ini sebesar Rp. 466 Triliun, ini angka yang belum membengkak loh ya.

Anda tahu utang negara kita berapa? Hingga akhir November 2021 utang pemerintah mencapai Rp 6.713,24 triliun.

Bayangkan jika pemindahan IKN ini berujung mangkrak, begitu banyak uang yang dihamburkan, sementara utang negara semakin bertambah.

Seberapa persen keyakinan Anda terhadap kejujuran pemerintah kita? Anda percaya bahwa tidak ada permainan uang di balik mega proyek ini? Sebenarnya saya tidak ingin suudzon, tapi saya sulit percaya kepada negara yang memiliki indeks persepsi korupsi 37 poin --- dari rentang poin 1- 100.**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenun Kwatek, Karya Tangan Perempuan Adonara

   Kwatek Adonara saat dikenakan Penulis SUDAH tidak asing lagi jika kita mengetahui bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kain tradisional. Begitu pula di Pulau Adonara. Pulau ini menjadi salah satu daerah yang memiliki kain tenun sebagai kain tradisionalnya. Pulau Adonara sendiri terletak di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat Adonara, tenun ini dipakai dalam berbagai acara seperti upacara adat, pernikahan, pemakaman, dan hari-hari besar lainnya, baik hari besar nasional ataupun hari besar agama. Selain itu, kain tenun ini juga dikenakan sehari-hari oleh masyarakat Adonara dan dijadikan cendramata bagi wisatawan yang berkunjung ke sana.  Tenun Adonara memiliki tiga motif, pertama motif dengan warna-warni bergaris lurus lebar merupakan kain Kewatek (berbentuk seperti sarung), yang kedua motif dengan warna yang monoton serta bergaris lurus kecil-kecil adalah Nowing (berbentuk seperti sarung) dan yang ketiga motif berwarna dan bergaris lurus a...

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba...

Yang Berharga, Hiduplah Lebih Lama

Satu hal yang pasti bahwa mereka tidak lagi muda. Sebagian besar warna rambutnya sudah tak hitam, kerutan di tangan dan wajahnya kian tampak, beberapa gigi pun telah tanggal. Sudah lebih dari separuh abad, hidupnya di muka bumi. Kenyataan ini membuatku terisak, meski tanpa suara.  Aku berada jauh. Menyeberangi lautan dan udara. Baktiku tentu hanya setitik dibandingkan embusan perjuangan dan kasihnya. Fakta ini, membuat genangan di mataku sering tumpah, meski lagi-lagi tanpa suara. Perempuan itu begitu lembut tapi juga tegas. Aku dan dirinya sering kali beradu. Maklum, egoku yang teramat kental susah sekali dicairkan. Tapi doa-doanya adalah payung atas segala badai. Hidupku adalah berkat dari sujud panjangnya dan rapalan kalimat yang ia tuangkan merayu Sang Tuhan.  Sementara itu, seorang pria gagah dengan tangan lebar dan sedikit kasar. Telapak kakinya pun demikian. Tapi dari tangan dan kaki itulah aku tumbuh dan berdikari; menjadi kaktus di tengah gersang, menjadi api di tenga...