Langsung ke konten utama

Sejak Kamu Jauh, Aku Kembali Belajar Berpuisi

Foto : Pinterest 


KEMARIN hujan, tapi kau tak di sini. Maka ku putuskan untuk menulis puisi. Sebab kata orang, dalam puisi kita bisa bercengkrama meski tak saling menatap.

Ku teguk kopi yang mulai dingin, tapi ternyata tak lebih dingin dari beberapa hari terakhir selepas pergimu. Tak ada peluk yang datang tanpa perlu diminta. Tak ada yang mengundang tawa saat gundah mulai meradang.

Baik-baik di sana. Keberadaanmu yang jauh di luar kendaliku.

Aku sudah lama tak menulis puisi, kali ini ku memulai lagi hobi yang sempat vakum. Bukan karena kehilangan tema atau kehabisan kata, tapi sejak denganmu banyak bahagia yang tak mampu didefinisikan lewat aksara.


Ternyata saat jauh, tanganku gatal untuk menjadikan kamu tema dalam bait puisi. Kamu tahu kan? Puisi tidak bisa dipesan. Ia lahir dari hati Sang Penulis. 

Betapa rindu membuat orang menjadi mendadak puitis. Setiap kalimat ditulis dengan rasa, dibaca diam-diam. Sengaja puisi itu tak ku cantumkan di sini, sebab beberapa kisah sakral terlalu pamali untuk dipublikasikan.

Hari ini sudah menggelap. Cahaya mentari meredup, pamit perlahan dan pulang. Semoga Tuhan masih mengizinkan kita bersua, bercerita di balik senja, bertukar rasa dalam secangkir kopi, lalu kembali menulis puisi, tapi bukan soal rindu, tentang syukur misalnya.**

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film “Dirty Vote,” Bukti Kebiadaban Pemerintahan Jokowi

PERINGATAN : Tulisan ini bukan kajian ilmiah yang tersusun rapi dengan kalimat akademik dan sajian data konkrit. Bukan juga berisi pujian untuk menyanjung junjunganmu. Jadi bagi Anda yang merasa pendukung fanatik Presiden Jokowi maupun paslon tertentu, sebaiknya Anda tidak perlu membaca tulisan yang isinya hanya “sumpah serapah” untuk idolamu itu. FILM dokumenter “Dirty Vote” tayang hari ini, Ahad, 11 Februari 2024 pukul 11.11 WIB di kanal YouTube Dirty Vote. Saya buru-buru mengunduh film tersebut, khawatir sewaktu-waktu bisa di-takedown. Ya, saya memang sangat pesimis dengan kebebasan berbicara/berekspresi di negeri yang katanya demokrasi ini. Pukul 20.00 WIB, film tersebut selesai saya tonton. Bergegas saya buka Microsoft Word yang ada di laptop untuk menuangkan segala emosi yang terangkum selama menyaksikan “Dirty Vote.” Film yang disutradarai Dandhy Laksono ini kembali berhasil membuat saya meneteskan air mata. Bisa dibilang, jejak air itu belum sepenuhnya kering saat tulisan

Tepung Seharga Nyawa Manusia

Alkisah, di sebuah kota suci nan subur Hidup manusia mulia yang diserang sekelompok penjahat bengis; tak berhati dan tak pula berakal Para penjahat itu bermodalkan kebodohan dan keserakahah Dengan besar kepala mereka melawan kebenaran  Lucunya, langkah kejahatan itu didukung oleh pamannya, Paman Sam Lalu ketika seluruh hati di dunia terketuk dan mengutuk, Paman Sam tiba-tiba berubah peran Ambil langkah "kemanusiaan" Pura-pura berbaik hati Bah, pandai kali aktingnya Kirim bantuan lewat udara Jatuhkan makanan dari langit pantai Gaza Warga setempat yang kelaparan berlarian menuju ke situ Ternyata itu bukan hanya tempat makanan tapi juga tempat pemakaman Tepung yang dijatuhkan Paman Sam, seharga 150 nyawa manusia Mereka meregang nyawa di atas peti makanan Belum sempat mereka merasa kenyang, darahnya sudah lebih dulu terkuras Peti bantuan itu mendadak berubah warna Menjadi merah Semerah darah para syuhada Wanginya semerbak menembus layar handphone di gengaman umat manusia Aromanya

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba