Foto : Pinterest "Tidak perlu menjadi perempuan yang mampu mengatur lelaki. Cukup jadi perempuan yang tidak bisa didikte oleh lelaki." -Jarar Siahaan- |
TULISAN ini lahir dari kegelisahan penulis sebagai perempuan yang kerap kali merasakan ataupun mendengarkan stigma-stigma yang beredar di masyarakat perihal keterkaitan antara tubuh dan perempuan.
Banyak hal yang sebenarnya tidak pantas tetapi dianggap wajar oleh masyarakat. Seperti pada persoalan tubuh seorang perempuan.
Perempuan dianggap gagal menjadi 'perempuan baik' jika ia kehilangan keperawanan. Seolah-olah harga diri perempuan hanya dinilai dari selangkangan. Sehingga robeknya selaput dara di luar pernikahan menjadi sesuatu yang nista.
Pernyataan di atas bukan berarti saya membenarkan seks bebas. Tetapi bermaksud agar kita tidak mudah menghinakan seorang perempuan yang telah kehilangan 'mahkotanya'. Karena sehina apapun perempuan di matamu, ketika ia menjadi ibu, di telapak kakinya tetap ada surga.
Maka sebaiknya kita ikut membantu saudari-saudari kita yang berada di posisi itu untuk tetap bangkit dan mampu membuat kita belajar untuk lebih pandai menjaga diri. Entah sebagai perempuan ataupun laki-laki. Kita semua harus saling melindungi.
Dalam kasus pelecehan seksual, (meskipun laki-laki juga berpotensi sebagai korban) ketika perempuan dilecehkan, orang-orang berkomentar bahwa cara berpakaian perempuan itulah yang menjadi sebab terjadinya pelecehan. Ada pula yang menyalahkan korban karena 'berkeliaran' di malam hari.
BACA JUGA: Mirabal Bersaudara Dibunuh karena Mereka Perempuan
Tapi benarkah pakaian dan keluar malam berpengaruh pada kasus ini?
Dalam survey yang dilakukan pada akhir 2018, para peneliti menemukan fakta yang mematahkan mitos tentang jenis pakaian korban dan waktu terjadinya pelecehan seksual. Kejadian pelecehan seksual justru banyak terjadi di siang hari (35%), diikuti dengan sore hari (25%), malam hari (21%), dan pagi hari (17%).
Selain itu, jenis pakaian yang digunakan korban juga beragam, seperti rok dan celana panjang (18%), baju lengan panjang (16%), seragam sekolah (14%), hijab (17%), dan baju longgar (14%).
Dari data di atas, jelas terlihat bahwa pelecehan seksual tidak memandang siapa, kapan dan bagaimana kamu berpenampilan.
Sebenarnya banyak fakta yang bisa kita temukan tentang kasus ini. Tetapi lagi-lagi masyarakat enggan menerima dan tetap menilai perempuan sebagai pihak yang disalahkan karena tidak mampu menjaga tubuhnya dengan benar.
Dalam ajaran Islam, menutup aurat adalah kewajiban. Sehingga berpakaian tertutup bagi perempuan menjadi keharusan, tapi jangan lupa, laki-laki pun diperintahkan untuk menundukkan pandangan serta menjaga kemaluannya.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
قُلْ لِّـلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُـضُّوْا مِنْ اَبْصَا رِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ ۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ بِۢمَا يَصْنَـعُوْنَ
"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat."
(QS. An-Nur 24: Ayat 30)
Maka jelas bukan? Laki-laki dan perempuan sama-sama punya andil untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual.
Selain itu, ada lagi stigma yang berkembang di masyarakat tentang perempuan. Ketika laki-laki menggauli banyak perempuan, maka ia dianggap gagah. Tetapi ketika perempuan melakukan itu maka ia akan mendapat predikat jalang. Standar ganda bukan?
Gonta-ganti pasangan tentu melanggar norma masyarakat juga agama. Maka ketika melawan norma, seharusnya predikat buruk tidak memandang gender.
Ketika laki-laki mengejar perempuan yang ia cintai, maka ia dianggap sosok laki-laki sejati. Tapi ketika perempuan melakukan itu, ia dianggap tak punya harga diri. Seolah-olah perempuan hanya bertugas menunggu dan pasif. Ada apa ini?
Setiap manusia mempunyai hak untuk merasakan cinta dan menyatakannya. Bagi saya itu fitrah. Sehingga perempuan dan laki-laki sama-sama berhak untuk memperjuangkan apa yang dicintai. Sehingga stigma bahwa perempuan dilarang 'aktif' adalah sesuatu yang melanggar fitrah.
BACA JUGA: Kiprah Perempuan Tionghoa dalam Sejarah Indonesia
Contoh-contoh masalah di atas merupakan beberapa stigma yang beredar di masyarakat dan tentunya masih banyak stigma yang dipersoalkan tentang perempuan dan tubuhnya.
Pada intinya adalah memberikan stigma negatif pada manusia bukanlah sikap terpuji. Karena dengan pikiran yang bersih, dalam hal terburuk sekali pun pasti mampu menemukan pelajaran berharga.
Perempuan, tubuh dan stigma adalah tiga hal yang kerap kali dikaitkan padahal sebenarnya berbeda. Karena persoalan stigma dan tubuh seharusnya bisa mengenai siapa saja, baik perempuan ataupun laki-laki.
Maka diharapkan, dengan tulisan ini dapat membuka mata kita bahwa laki-laki dan perempuan setara meski tak sama. Kita sejajar meski tak serupa.
Segala hal buruk harus dihentikan, segala yang baik harus diperluas. Tidak berbatas gender, ras, agama ataupun kebudayaan.**
Komentar
Posting Komentar