Langsung ke konten utama

Kiprah Perempuan Tionghoa dalam Sejarah Indonesia



PERLU
kita ketahui bahwa tidak ada ras, etnis dan kebudayaan yang buruk. Jika kita dapati banyak kejahatan dilakukan oleh etnis tertentu, maka bukan etnisnya yang buruk tetapi individunya lah yang bermasalah.

Seperti halnya etnis Tionghoa, meskipun kebanyakan dari kita memandang negatif etnis tersebut, tapi faktanya banyak perempuan Tionghoa yang ikut berperan besar dalam sejarah bangsa Indonesia.

Nama mereka mungkin akan asing di telinga kita. Tapi mereka tetaplah pahlawan yang perlu kita hargai, kita kenang dan dijadikan teladan yang baik.

Mari kita cermati, beberapa perempuan etnis Tionghoa yang berjasa dalam sejarah Indonesia.


1. THE SIN NIO merupakan seorang pejuang kemerdekaan. Ia bahkan sempat menyamar menjadi lelaki dan mengubah namanya menjadi Mochammad Moeksin agar bisa bertempur melawan penjajah.



Sin Nio menjadi satu-satunya perempuan yang tergabung dalam Kompi 1 Batalyon 4 Resimen 18 di bawah komando Sukarno. Dia ikut di garis terdepan perjuangan dengan senjata sederhana berupa golok, tombak hingga bambu runcing saat melawan Belanda. The Sin Nio memiliki semangat besar untuk menjadi pejuang kemerdekaan.

BACA JUGA : Kekerasan Berbasis Gender Itu Nyata, Mirabal Bersaudara Dibunuh Karena Mereka Perempuan

Namun, kiprahnya untuk kemerdekaan Indonesia ternyata tidak mampu menjamin hidupnya. Ia bahkan tidak mendapatkan hak sebagai seorang veteran. Ia menjadi veteran yang terbuang karena ia berasal dari etnis Tionghoa. 

Untuk memperjuangkan haknya sebagai veteran, Sin Nio bahkan rela tinggal seorang diri di rumah liar di dekat Stasiun Kereta Api Juanda, Jakarta. Bahkan pernah cukup lama tinggal menumpang di Masjid di daerah Petojo, Jakarta. Dia harus memperjuangkan sendirian status tersebut di Jakarta, meninggalkan kampung halamannya. Bertahun-tahun dia terlunta-lunta di Jakarta.

Dia baru diakui sebagai veteran sekitar 3 tahun sebelum meninggal dunia. Setelah usahanya berhasil, dia sudah tak mau kembali ke Wonosobo.

Setelah meninggal dunia, The Sin Nio dimakamkan di pemakaman layur Rawamangun. Kerabat di Wonosobo mengaku tidak mengetahui pasti apakah saat ini makamnya masih terlacak di pemakaman tersebut atau tidak. 

2. AUW TJOEI LAN (LIE TJIAN TJOEN) berjuang melawan perdagangan manusia, terutama perdagangan anak dan perempuan. Banyak sekali mucikari yang mengancam keselamatannya, tapi ia tak pernah menyerah melawan ketidakadilan.



Sekitar tahun 1914, dia bergabung menjadi salah satu pengurus badan sosial untuk menolong anak-anak yang dibuang orangtuanya karena menderita sakit parah, cacat, lahir di luar nikah atau bayi-bayi baru lahir yang dibuang di pinggir-pinggir jalanan atau rumah akibat kemiskinan.

Badan tersebut bernama Ati Soetji (sekarang “Hati Suci”). Hati Suci resmi diakui sebagai badan hukum (rechtpersoon) pada 30 November 1914.

Organisasi ini juga menampung perempuan-perempuan yang terpaksa melacurkan diri karena kesulitan ekonomi dan yang didatangkan dari daratan Tiongkok lalu dijual dan dipaksa jadi pelacur di rumah-rumah bordil.

Kisah perjuangan Auw Tjoei Lan (Lie Tjian Tjoen) dalam mengampu anak-anak yatim piatu dan menyelamatkan anak-anak gadis korban trafficking dapat dibaca dalam buku “Ny. Lie Tjian Tjoen Mendahului Sang waktu.”


3. ITA MARTADANITA merupakan seorang aktivis kemanusiaan yang menjadi saksi kunci pemerkosaan massal pada tahun 1998. Tetapi ia dibunuh sebelum memberikan kesaksian di PBB.


Pada peristiwa Mei 1998, lebih dari 150 orang perempuan etnis Cina mengalami perkosaan dan pelecehan seksual, demikian catatan sebuah tim relawan kasus Mei 1998, dan kasusnya tak juga kunjung terungkap, hingga kini, berpuluh tahun kemudian, dan tak ada yang pernah disidangkan.

BACA JUGA : Perempuan, Tubuh dan Stigma

Kerusuhan Mei 1998, menjelang Presiden Soeharto lengser, berupa amuk massa, pembakaran, dan penjarahan, siswi SMA Ita Martadinata menjadi salah satu korban pemerkosaan. Ia lalu dibunuh sehari menjelang pergi ke markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York untuk memberikan testimoni.

Sementara itu, berdasarkan pernyataan seorang saksi, kondisi mayat Ita Martadinata ditemukan berceceran darah, dengan leher hampir putus dan di duburnya ada kayu.


4. HO KIM NGO adalah ibu dari Yun Hap yang merupakan salah satu korban dari peristiwa Semanggi II.

Sudah 21 tahun berjalan, tapi belum ada keadilan untuk para korban kasus Semanggi tersebut. Tetapi hal itu tak membuat kegigihan Ho Kim Ngo surut. Sampai hari ini ia bersama keluarga korban dari kasus pelanggaran HAM tersebut masih tetap memperjuangkan keadilan.

Ho Kim Ngo bersama para keluarga korban lainnya dan aktivis HAM menggugat Jaksa Agung Burhanuddin ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada 12 Mei lalu. Mereka menilai ucapan Burhanuddin saat rapat bersama DPR RI itu “menghalangi kepentingan keluarga korban untuk mendapatkan keadilan atas meninggalnya para korban Peristiwa Semanggi I dan II."

Meskipun sampai sekarang Tragedi Semanggi belum menemui titik terang, namun satu yang tak boleh padam, semangat dan idealisme Yun Hap yang harus terus direproduksi oleh gerakan mahasiswa hingga masa mendatang, seperti yang tertulis di atas batu nisannya : “Aku belajar disubsidi rakyat. Aku harus membela rakyat. Aku gugur bersama rakyat."


Dari pemaparan di atas menegaskan kepada kita bahwa tidak ada etnis yang benar-benar buruk. Dalam suatu golongan, tentunya akan dijumpai orang-orang yang baik dan tidak. 

BACA JUGA : Saya Perempuan, Bukan Wanita

Tentunya kisah di atas juga menunjukkan kepada kita bahwa perempuan bukanlah makhluk lemah. Ia memiliki kekuatan dan keberanian yang tangguh namun tetap anggun. Perempuan mampu membuat perubahan dan memperjuangkan kebenaran. 

Semoga tulisan ini menambah wawasan kita, menambah rasa cinta kita pada tanah air, pada manusia, pada keadilan dan kebenaran.**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenun Kwatek, Karya Tangan Perempuan Adonara

   Kwatek Adonara saat dikenakan Penulis SUDAH tidak asing lagi jika kita mengetahui bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kain tradisional. Begitu pula di Pulau Adonara. Pulau ini menjadi salah satu daerah yang memiliki kain tenun sebagai kain tradisionalnya. Pulau Adonara sendiri terletak di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat Adonara, tenun ini dipakai dalam berbagai acara seperti upacara adat, pernikahan, pemakaman, dan hari-hari besar lainnya, baik hari besar nasional ataupun hari besar agama. Selain itu, kain tenun ini juga dikenakan sehari-hari oleh masyarakat Adonara dan dijadikan cendramata bagi wisatawan yang berkunjung ke sana.  Tenun Adonara memiliki tiga motif, pertama motif dengan warna-warni bergaris lurus lebar merupakan kain Kewatek (berbentuk seperti sarung), yang kedua motif dengan warna yang monoton serta bergaris lurus kecil-kecil adalah Nowing (berbentuk seperti sarung) dan yang ketiga motif berwarna dan bergaris lurus a...

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba...

Yang Berharga, Hiduplah Lebih Lama

Satu hal yang pasti bahwa mereka tidak lagi muda. Sebagian besar warna rambutnya sudah tak hitam, kerutan di tangan dan wajahnya kian tampak, beberapa gigi pun telah tanggal. Sudah lebih dari separuh abad, hidupnya di muka bumi. Kenyataan ini membuatku terisak, meski tanpa suara.  Aku berada jauh. Menyeberangi lautan dan udara. Baktiku tentu hanya setitik dibandingkan embusan perjuangan dan kasihnya. Fakta ini, membuat genangan di mataku sering tumpah, meski lagi-lagi tanpa suara. Perempuan itu begitu lembut tapi juga tegas. Aku dan dirinya sering kali beradu. Maklum, egoku yang teramat kental susah sekali dicairkan. Tapi doa-doanya adalah payung atas segala badai. Hidupku adalah berkat dari sujud panjangnya dan rapalan kalimat yang ia tuangkan merayu Sang Tuhan.  Sementara itu, seorang pria gagah dengan tangan lebar dan sedikit kasar. Telapak kakinya pun demikian. Tapi dari tangan dan kaki itulah aku tumbuh dan berdikari; menjadi kaktus di tengah gersang, menjadi api di tenga...