Langsung ke konten utama

Pulau Komodo Zona Konservasi, Bukan Lahan Bisnis Investasi

 

PULAU KOMODO atau yang saat ini lebih dikenal dengan Taman Nasional (TN) Komodo merupakan habitat alami satwa langka Varanus Komodoensis, kebanggaan Nusa Tenggara Timur, kebanggaan Indonesia dan juga publik internasional. Sebab Komodo adalah jenis kadal raksasa atau hewan purba Dinosaurus yang masih hidup sampai saat ini. Pulau Komodo juga pernah menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia pada tahun 2012.

Namun saat ini, bencana ekologi dan sosial sedang menghantui kawasan konservasi tersebut. Kebijakan pemerintah yang menjadikan kawasan TN Komodo seluas 132,572 hektar sebagai episentrum investasi wisata super-premium Labuan Bajo, tentunya mengancam ekosistem Komodo juga mengganggu ruang penghidupan bagi pelaku wisata dan masyarakat setempat.

Di era Jokowi periode kedua ini, pemerintah telah mendorong investasi pariwisata di dalam dan sekitar kawasan TN Komodo. Berbagai infrastruktur telah berlangsung di kawasan tersebut. Pembangunan yang lain juga sudah masuk perencanaan dan tinggal menunggu giliran pengerjaan.

Bahkan Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP), telah mengumumkan akan menata Pulau Komodo untuk pariwisata eksklusif dengan tarif masuk Rp 14 Juta per wisatawan. Ia juga mengaku telah bertemu dengan beberapa investor asal Amerika Serikat yang berminat untuk mengelola Pulau Komodo seperti wisata alam di Afrika.

Dari informasi yang dijabarkan oleh Venan Haryanto, Peneliti Lembaga Advokasi Berbasis Penelitian Sunspirit for Justice and Peace-Labuan Bajo-Flores Barat, sejauh ini pemerintah telah memberi lahan seluas 151,94 hektar kepada PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) untuk Izin Pengusahaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA). Di atas lahan itu akan dibangun rest area seperti villa, restoran, unit penginapan staf dan jetty. Pemerintah juga tengah mengurus izin bagi PT Flobomora-BUMD milik Provinsi NTT bersama mitranya untuk bisnis wisata alam di Pulau Komodo.

BACA JUGA : RUU Cilaka "Bikin" Celaka

Tidak hanya itu, masih banyak upaya lain yang sedang digarap pemerintah untuk menjadikan TN Komodo sebagai lahan bisnis pariwisata, dari segi wisata Komodonya sampai wisata bahari.

Meskipun terlihat menguntungkan secara finansial, tetapi pembangunan infrastruktur untuk pariwisata eksklusif ini memberikan dampak buruk bagi habitat dan keberadaan Komodo.

Pembangunan infrastruktur tentu merusak kelestarian alam di TN Komodo. Rusaknya alam di kawasan tersebut mengancam populasi satwa lain, rusa misalnya, yang menjadi makanan utama Komodo. Jika rantai makanan ini terganggu atau bahkan terputus, tentu dapat dipastikan bahwa Komodo berada di ambang kepunahan.

Tidak hanya itu, pembentukan pariwisata eksklusif ini juga berpotensi mematikan rantai ekonomi pelaku wisata skala kecil di kawasan TN Komodo. Sebab bagi penduduk desa di kawasan tersebut, pariwisata TN Komodo telah lama menjadi insentif ekonomi dari ekonomi komunitas berbasis konservasi.

Para warga yang ada di beberapa desa di kawasan TN Komodo bekerja sebagai pengrajin, pengusaha souvenirs dan membuka jasa homestay untuk wisatawan yang datang di TN Komodo. Dijadikannya TN Komodo sebagai pariwisata eksklusif tentu akan menyingkirkan keberadaan mereka dan para investorlah yang akan menggantikannya.

Maka jelas terlihat, alih-alih mensejahterakan rakyat, penataan TN Komodo menjadi pariwisata eksklusif, terang-terangan mengancam ekosistem dan memperparah ketidakadilan sosial.**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenun Kwatek, Karya Tangan Perempuan Adonara

   Kwatek Adonara saat dikenakan Penulis SUDAH tidak asing lagi jika kita mengetahui bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kain tradisional. Begitu pula di Pulau Adonara. Pulau ini menjadi salah satu daerah yang memiliki kain tenun sebagai kain tradisionalnya. Pulau Adonara sendiri terletak di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat Adonara, tenun ini dipakai dalam berbagai acara seperti upacara adat, pernikahan, pemakaman, dan hari-hari besar lainnya, baik hari besar nasional ataupun hari besar agama. Selain itu, kain tenun ini juga dikenakan sehari-hari oleh masyarakat Adonara dan dijadikan cendramata bagi wisatawan yang berkunjung ke sana.  Tenun Adonara memiliki tiga motif, pertama motif dengan warna-warni bergaris lurus lebar merupakan kain Kewatek (berbentuk seperti sarung), yang kedua motif dengan warna yang monoton serta bergaris lurus kecil-kecil adalah Nowing (berbentuk seperti sarung) dan yang ketiga motif berwarna dan bergaris lurus a...

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba...

Yang Berharga, Hiduplah Lebih Lama

Satu hal yang pasti bahwa mereka tidak lagi muda. Sebagian besar warna rambutnya sudah tak hitam, kerutan di tangan dan wajahnya kian tampak, beberapa gigi pun telah tanggal. Sudah lebih dari separuh abad, hidupnya di muka bumi. Kenyataan ini membuatku terisak, meski tanpa suara.  Aku berada jauh. Menyeberangi lautan dan udara. Baktiku tentu hanya setitik dibandingkan embusan perjuangan dan kasihnya. Fakta ini, membuat genangan di mataku sering tumpah, meski lagi-lagi tanpa suara. Perempuan itu begitu lembut tapi juga tegas. Aku dan dirinya sering kali beradu. Maklum, egoku yang teramat kental susah sekali dicairkan. Tapi doa-doanya adalah payung atas segala badai. Hidupku adalah berkat dari sujud panjangnya dan rapalan kalimat yang ia tuangkan merayu Sang Tuhan.  Sementara itu, seorang pria gagah dengan tangan lebar dan sedikit kasar. Telapak kakinya pun demikian. Tapi dari tangan dan kaki itulah aku tumbuh dan berdikari; menjadi kaktus di tengah gersang, menjadi api di tenga...