Langsung ke konten utama

Pro Kontra Belajar Daring





TAHUN 2020 hampir mendekati ujung, namun pandemi Covid-19 di Indonesia belum juga surut. Pandemi ini tentu berdampak ke semua kalangan. Banyak perubahan signifikan yang terjadi di berbagai bidang. Baik bidang ekonomi, industri, sampai pendidikan.

Sebagai akademisi, tentu dampak paling besar yang kita rasakan adalah di bidang pendidikan. Berbagai kegiatan pembelajaran yang seharusnya terjadi di lembaga pendidikan, dipindahkan ke rumah masing-masing. Aktivitas yang semestinya dilakukan secara tatap muka, dialihkan melalui daring. Bahkan sampai Oktober ini, masih banyak lembaga pendidikan yang melakukan kegiatan belajar mengajar secara daring. Baik di kota, maupun di daerah.

Perihal proses belajar melalui daring ini tentunya terdapat pro dan kontra. Ada lebih, ada pula kurangnya. Sebagian masyarakat setuju dengan alasan bahwa sistem daring mengajarkan siswa/ mahasiswa memanfaatkan teknologi yang ada dengan baik. Sistem daring juga mengajarkan siswa/mahasiswa menjadi lebih mandiri, tidak bergantung dengan guru.

Namun alasan tersebut tentu masih menemui sanggahan. Banyak masyarakat yang kontra terhadap sistem daring ini. Saya pun lebih condong ke pihak kontra. Mengapa? Mari kita ulas.

Pertama, sistem daring tidak bisa dilakukan di semua tempat. Tidak semua daerah di negara ini dapat dijangkau oleh sinyal. Jangankan sinyal, bahkan di beberapa daerah pelosok, listrik saja masih belum ada. 

Kedua, sistem daring tidak bisa menjangkau semua kalangan. Bagi keluarga berada, daring bukanlah masalah. Tapi bagi mereka yang kurang mampu, terdapat banyak kendala dalam mengikuti proses belajar secara daring.

Tidak semua masyarakat memiliki smartphone dan laptop yang menjadi media utama proses daring. Belum lagi modal kuota yang harus ditanggung masing-masing siswa/mahasiswa. 

Ketiga, sekolah atau kampus sebagai lembaga pendidikan bukan hanya berfungsi sebagai tempat belajar secara teori. Tapi juga tempat menemukan figur teladan. 

Guru adalah orang tua di sekolah/kampus. Maka kehadiran sosoknya ialah sebagai teladan bagi para siswa/mahasiswa. Di lembaga pendidikan, siswa/mahasiswa bukan hanya diupayakan kecerdasan intelektual, tetapi lebih kepada pembinaan moral dan akhlak. 

Jika hanya soal pintar, maka saat ini bisa dikatakan Google lebih pintar dibandingkan guru. Para guru hanya menguasai bidang ilmu tertentu, tetapi Google bisa menjawab semua pertanyaan tentang ilmu pengetahuan. Apabila peran guru hanya sebatas itu, maka di era sekarang, peran guru sudah tersaingi dengan internet.

Namun, peran utama guru bukanlah itu. Bukan mencerdaskan anak bangsa secara akademik saja, tapi penanaman akhlak adalah peran utama seorang guru.

Adanya daring ini, tentu siswa/mahasiswa kehilangan figur teladan, setelah orang tuanya. Teknologi bisa menggantikan semuanya, tetapi ia tidak bisa memberikan rasa. Itulah bedanya manusia dan mesin. Selain akal, kelebihan kita adalah memiliki perasaan. 

Para siswa/mahasiswa memerlukan itu, dan daring menjadi pembatas rasa antara guru dan siswa/mahasiswanya. Saya rasa poin ketiga ini adalah poin terpenting.

Terlepas dari pro ataupun kontra, saya rasa kita semua tetap setuju jika situasi berjalan normal kembali. Tanpa rasa was-was tertular virus. Tanpa protokol kesehatan yang membuat kita tersekat.

Semoga di akhir tahun ini, pandemi Covid-19 juga berakhir. Aamiin.


#pandemi #covid19 #daring #belajaronline 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film “Dirty Vote,” Bukti Kebiadaban Pemerintahan Jokowi

PERINGATAN : Tulisan ini bukan kajian ilmiah yang tersusun rapi dengan kalimat akademik dan sajian data konkrit. Bukan juga berisi pujian untuk menyanjung junjunganmu. Jadi bagi Anda yang merasa pendukung fanatik Presiden Jokowi maupun paslon tertentu, sebaiknya Anda tidak perlu membaca tulisan yang isinya hanya “sumpah serapah” untuk idolamu itu. FILM dokumenter “Dirty Vote” tayang hari ini, Ahad, 11 Februari 2024 pukul 11.11 WIB di kanal YouTube Dirty Vote. Saya buru-buru mengunduh film tersebut, khawatir sewaktu-waktu bisa di-takedown. Ya, saya memang sangat pesimis dengan kebebasan berbicara/berekspresi di negeri yang katanya demokrasi ini. Pukul 20.00 WIB, film tersebut selesai saya tonton. Bergegas saya buka Microsoft Word yang ada di laptop untuk menuangkan segala emosi yang terangkum selama menyaksikan “Dirty Vote.” Film yang disutradarai Dandhy Laksono ini kembali berhasil membuat saya meneteskan air mata. Bisa dibilang, jejak air itu belum sepenuhnya kering saat tulisan

Tepung Seharga Nyawa Manusia

Alkisah, di sebuah kota suci nan subur Hidup manusia mulia yang diserang sekelompok penjahat bengis; tak berhati dan tak pula berakal Para penjahat itu bermodalkan kebodohan dan keserakahah Dengan besar kepala mereka melawan kebenaran  Lucunya, langkah kejahatan itu didukung oleh pamannya, Paman Sam Lalu ketika seluruh hati di dunia terketuk dan mengutuk, Paman Sam tiba-tiba berubah peran Ambil langkah "kemanusiaan" Pura-pura berbaik hati Bah, pandai kali aktingnya Kirim bantuan lewat udara Jatuhkan makanan dari langit pantai Gaza Warga setempat yang kelaparan berlarian menuju ke situ Ternyata itu bukan hanya tempat makanan tapi juga tempat pemakaman Tepung yang dijatuhkan Paman Sam, seharga 150 nyawa manusia Mereka meregang nyawa di atas peti makanan Belum sempat mereka merasa kenyang, darahnya sudah lebih dulu terkuras Peti bantuan itu mendadak berubah warna Menjadi merah Semerah darah para syuhada Wanginya semerbak menembus layar handphone di gengaman umat manusia Aromanya

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba