Langsung ke konten utama

Rekonsiliasi Hak Masyarakat Adat yang Seharusnya Istimewa

 


Oleh Fathurizal Husni

(Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Surabaya)


KERESAHAN saya berawal dari melihat situasi negeri ini yang kian hari kian semeraut. Dengan keegoisanya merebut hak orang kecil. Entah siapa yang menciptakan keegoisan itu. 

Hari ini terlihat jelas di kalangan masyarakat adat perlindungan hak-hak istimewa yang diberikan oleh negara tidak lagi diperioritaskan. Ketika perlindungan hak terabaikan oleh negara, maka di situlah terjadinya masalah yang besar, karena masyarakat adat sebenarnya diakui oleh negara.

Secara jelas pembentukan negara kesatuan republik Indonesia berawal dari bersatunya masyarakat adat yang ada di antero nusantara. Keberadaan masyarakat adat telah jauh ada sebelum terbentuknya NKRI ini dan secara faktual telah diakui oleh bangsa belanda.

Secara normatif, beberapa peraturan perundang-undangan telah mengamanatkan adanya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat pada pasal 18b UUD 1945, bahwa negara mengakui dengan menghormati kesatuan – kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BACA JUGA : Benarkah Kita Sudah Merdeka?

Diperkuat dengan ketentuan pasal 281 ayat 3 UUD 1945, bahwa identitas budaya dan masyarakat tradisional di hormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradapan.

Tentu sebagai akademisi, kita harus paham bagaimana perkembangan hari ini. Memanfaatkan banyak hal agar mendapatkan tujuan dan maksud mereka. Jangan sampai dari penafsiran ini diartikan macam-macam oleh oknum yang ingin merebut lahan masyarakat adat.

Banyak permasalahan yang kompleks tentang masyarakat adat yang kita ketahui. Seperti terjadinya konflik lahan dan kekayaan alam antara masyarakat adat dan korporasi maupun pemerintah. Ini sangat gamblang terjadi di kehidupan kita sehari hari dan juga masalah ini tak jarang menimbulkan konflik horizontal bagi sesama kita.

Di Nusa Tenggara Timur, tempat saya dilahirkan. Di sini salah satu gudangnya budaya dan adat. Bagi saya di sini adalah surganya etnik kelompok adat yang beragam. Saling menghargai sesama, toleransi dan sangat menjaga lingkungan hidupnya dengan kekhasan dari leluhur mereka sampai detik ini. Sungguh luar biasa bukan? 

Namun keistimewaan itu perlahan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tamak akan investasi. Apa lagi katanya Bapak Presiden Joko Widodo sedang mendorong investasi dan menggenjot infrastruktur. Hal ini menjadi dalil kuat untuk perlahan merampas hak masyarakat adat. 

Berbanding terbalik dengan ketika masyarakat ingin mengajukan pengakuan atas wilayah hutan mereka agar diakui legitimasinya, tetapi dipersulit oleh pemerintah. 

Hal ini membuat masyarakat adat kecewa. Mengingat proyek infrastruktur seringkali mengorbankan hak masyarakat adat. Apa lagi di sana seringkali disepelekan ketika masyarakat adat ingin bersuara.

Permasalahan ini terjadi karena keserakahan investor-investor yang ingin menggali potensi sumber daya alam di negeri kita yang kaya ini. 

Apakah negeri ini tidak memikirkan generasi yang akan datang? Mereka juga berhak menikmati alam yang sudah disediakan Ibu Pertiwi. 

Namun disayangkan, hari ini adalah pudarnya rasa menghargai dari dalam diri terhadap leluhur yang telah banyak berjasa untuk melestarikan adat dan lingkungan sekitarnya.

Perlunya kesadaran tinggi dan rasa empati terhadap masyarakat adat yang telah banyak berbuat untuk pembentukan negeri ini. Berkat merekalah kita hari ini begitu dihargai oleh bangsa luar karena beragamnya budaya dan adat istiadat.

Saya yakin, dari kita semua bahkan dari pemerintah sekalipun mempunyai suku adat sendiri yang di mana sangat mencintai dan mengharagi adat tersebut. 

Oleh karena itu, berhentilah untuk merampas hak-hak masyarakat adat, karena merekalah yang dapat melindungi lingkungan dan menjaga keasrian hutan kita. 

Kalau seandainya kita semua merampas tanah adat yang di jaga mati-matian oleh mereka, lantas tidak akan lama tanah air yang katanya kaya sumber daya alam dan hayati ini akan perlahan habis.**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenun Kwatek, Karya Tangan Perempuan Adonara

   Kwatek Adonara saat dikenakan Penulis SUDAH tidak asing lagi jika kita mengetahui bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kain tradisional. Begitu pula di Pulau Adonara. Pulau ini menjadi salah satu daerah yang memiliki kain tenun sebagai kain tradisionalnya. Pulau Adonara sendiri terletak di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat Adonara, tenun ini dipakai dalam berbagai acara seperti upacara adat, pernikahan, pemakaman, dan hari-hari besar lainnya, baik hari besar nasional ataupun hari besar agama. Selain itu, kain tenun ini juga dikenakan sehari-hari oleh masyarakat Adonara dan dijadikan cendramata bagi wisatawan yang berkunjung ke sana.  Tenun Adonara memiliki tiga motif, pertama motif dengan warna-warni bergaris lurus lebar merupakan kain Kewatek (berbentuk seperti sarung), yang kedua motif dengan warna yang monoton serta bergaris lurus kecil-kecil adalah Nowing (berbentuk seperti sarung) dan yang ketiga motif berwarna dan bergaris lurus a...

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba...

Yang Berharga, Hiduplah Lebih Lama

Satu hal yang pasti bahwa mereka tidak lagi muda. Sebagian besar warna rambutnya sudah tak hitam, kerutan di tangan dan wajahnya kian tampak, beberapa gigi pun telah tanggal. Sudah lebih dari separuh abad, hidupnya di muka bumi. Kenyataan ini membuatku terisak, meski tanpa suara.  Aku berada jauh. Menyeberangi lautan dan udara. Baktiku tentu hanya setitik dibandingkan embusan perjuangan dan kasihnya. Fakta ini, membuat genangan di mataku sering tumpah, meski lagi-lagi tanpa suara. Perempuan itu begitu lembut tapi juga tegas. Aku dan dirinya sering kali beradu. Maklum, egoku yang teramat kental susah sekali dicairkan. Tapi doa-doanya adalah payung atas segala badai. Hidupku adalah berkat dari sujud panjangnya dan rapalan kalimat yang ia tuangkan merayu Sang Tuhan.  Sementara itu, seorang pria gagah dengan tangan lebar dan sedikit kasar. Telapak kakinya pun demikian. Tapi dari tangan dan kaki itulah aku tumbuh dan berdikari; menjadi kaktus di tengah gersang, menjadi api di tenga...