Langsung ke konten utama

Maaf Palestina, Aku Hanya Bisa Menangis

Jalan nestapa kau tempuh puluhan tahun

Dan aku cuma bisa bersedih

Meja makanku penuh hidangan kenikmatan duniawi, sementara saudaraku di Palestina terbunuh setiap hari


Suara takbir memancar dari bibirmu

diiringi detak jantung yang perlahan berhenti

Darahmu menetes

memerahkan bumi para nabi

Lalu kau tersenyum menyambut sorga


Kuteguk kopi hitam di teras rumah depan surau

Surat kabar memberitakan nasibmu

Si ini mengutuk Zionis

Si itu mengecam Israel

Maaf Sayang, hanya itu yang kami bisa

Ya, hanya itu yang kami bisa lakukan


Faktanya, tangisan bayi dan jeritan perempuan tua

Tak mampu menurunkan senjata dari dekapan serdadu laknatullah

Benar, peluru tak bernurani; ia hanya tunduk pada tuannya

Di mana hukum internasional? 

Sssstttssss...

Aturan itu sudah lama dikebiri


Lagi dan lagi, aku hanya bisa bersedih

Ketika tangan nakal Zionis meninggalkan noktah hitam di tubuh saudara perempuanku

Ketika lelaki paruh baya terpasung dalam penjara karena membela tanah airnya

Ketika bayi tetiba jadi yatim dan piatu padahal air susu belum sampai di kerongkongannya

Maaf Palestina, aku hanya bisa menangis


Dipan yang empuk kutiduri setiap malam, begitu pulas

Selimut hangat, alunan musik syahdu mengantarku ke dalam mimpi

Pernahkah kau merasakan itu, Sayang?


Serangan udara menghancurkan rumahmu bahkan sebelum azan subuh sampai di telinga

Tahu-tahu kawanmu syahid, terpisah antara tangan dan jarinya

Dan lagi, aku cuma bisa ikut menangis


Aku cuma bisa mengiba

Saat bilangan nyawa yang gugur terus bertambah setiap detik

Maaf, Palestina

Maaf!


BACA JUGA: Maaf Palestina, Aku Hanya Bisa Menangis 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenun Kwatek, Karya Tangan Perempuan Adonara

   Kwatek Adonara saat dikenakan Penulis SUDAH tidak asing lagi jika kita mengetahui bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kain tradisional. Begitu pula di Pulau Adonara. Pulau ini menjadi salah satu daerah yang memiliki kain tenun sebagai kain tradisionalnya. Pulau Adonara sendiri terletak di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat Adonara, tenun ini dipakai dalam berbagai acara seperti upacara adat, pernikahan, pemakaman, dan hari-hari besar lainnya, baik hari besar nasional ataupun hari besar agama. Selain itu, kain tenun ini juga dikenakan sehari-hari oleh masyarakat Adonara dan dijadikan cendramata bagi wisatawan yang berkunjung ke sana.  Tenun Adonara memiliki tiga motif, pertama motif dengan warna-warni bergaris lurus lebar merupakan kain Kewatek (berbentuk seperti sarung), yang kedua motif dengan warna yang monoton serta bergaris lurus kecil-kecil adalah Nowing (berbentuk seperti sarung) dan yang ketiga motif berwarna dan bergaris lurus a...

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba...

Yang Berharga, Hiduplah Lebih Lama

Satu hal yang pasti bahwa mereka tidak lagi muda. Sebagian besar warna rambutnya sudah tak hitam, kerutan di tangan dan wajahnya kian tampak, beberapa gigi pun telah tanggal. Sudah lebih dari separuh abad, hidupnya di muka bumi. Kenyataan ini membuatku terisak, meski tanpa suara.  Aku berada jauh. Menyeberangi lautan dan udara. Baktiku tentu hanya setitik dibandingkan embusan perjuangan dan kasihnya. Fakta ini, membuat genangan di mataku sering tumpah, meski lagi-lagi tanpa suara. Perempuan itu begitu lembut tapi juga tegas. Aku dan dirinya sering kali beradu. Maklum, egoku yang teramat kental susah sekali dicairkan. Tapi doa-doanya adalah payung atas segala badai. Hidupku adalah berkat dari sujud panjangnya dan rapalan kalimat yang ia tuangkan merayu Sang Tuhan.  Sementara itu, seorang pria gagah dengan tangan lebar dan sedikit kasar. Telapak kakinya pun demikian. Tapi dari tangan dan kaki itulah aku tumbuh dan berdikari; menjadi kaktus di tengah gersang, menjadi api di tenga...