Langsung ke konten utama

Joko Pinurbo Berpulang, Dunia Sastra Indonesia Kehilangan Penyair Hebat

DUNIA sastra Tanah Air baru saja kehilangan salah satu penyair hebat, Joko Pinurbo. Ia wafat pada Sabtu, 27 April 2024 sekitar pukul 06.30 WIB di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.

Kabar kepergiannya memberikan rasa duka di seluruh pencinta sastra. Jokpin, demikian sapaanya, menjadi guru bagi banyak orang. Puisi-pusinya begitu akrab di telinga masyarakat Indonesia, terutama anak-anak muda.

“Atas nama pimpinan Badan Bahasa, Kemendikbudristek, kami ikut berbela sungkawa atas meninggalnya Joko Pinurbo,” kata Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra Badan Bahasa Kemendikbudristek Muhammad Abdul Khak. 

Menurut Abdul, puisi-puisinya yang memadukan narasi, humor, dan ironi menjadi salah satu ciri yang khas dari karya-karya sastra Joko Pinurbo sehingga mampu diterima oleh banyak masyarakat Indonesia.

Sebuah puisi singkat karya Joko Pinurbo sering kali beredar di linimasa jagat maya. Saya begitu hafal bunyinya:

Tuhan, ponsel saya

rusak dibanting lindu

Nomor kontak saya hilang semua

Satu-satunya yang tersisa

ialah nomorMu.

Tuhan berkata:

"Dan itulah satu-satunya nomor

yang tak pernah kausapa."

Puisi di atas ditulisnya pada tahun 2018. Tapi hingga kini, sajak itu melekat di ingatanku. Karya Jokpin mengalir jauh, menembus setiap hati pembacanya dan kerap kali berbuah menjadi alarm pengingat diri.

Joko Pinurbo mengembuskan napas terakhirnya di usia 61 tahun setelah menjalani perawatan intensif. Rencananya, ia akan dimakamkan pada Ahad, 28 April 2024 pukul 10.00 WIB, di pemakaman Demangan, Ngemplak, Sleman.

Ia pergi meninggalkan seorang istri bernama Nurnaeni Amperawati Firmina, dua orang anak bernama Paskasius Wahyu Wibisono dan Maria Azalea Anggraeni, serta seorang menantu bernama Alexander Gilang Samudra Rajasa. Dia juga meninggalkan dua orang cucu yang bernama Gabriel Kalandra Rajasa, dan Seravina Almalera Rajasa.

Sastrawan kelahiran Sukabumi, 11 Mei 1962 mempunyai nama asli Philipus Joko Pinurbo. Pada tahun 2002, Joko Pinurbo mendapat penghargaan Sastra Badan Bahasa Kemendikbud. Pada 2014, Joko mendapat penghargaan South East Asian (SEA) Write Award, dan penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa pada 2015.

Sastrawan tersohor itu sudah menciptakan banyak puisi. Beberapa karya Joko Pinurbo termasuk Celana (1999), Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (2007), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), hingga Telepon Genggam (2003).

Kemudian, ada juga karyanya yang berjudul Haduh, aku di-follow (2013), Surat dari Yogya: Sepilihan Puisi (2015), Srimenanti (2019), hingga Tak Ada Asu di Antara Kita: Kumpulan Cerpen (2023).

Selain itu, Joko Pinurbo juga memiliki sejumlah antologi yang berjudul Tugu (1986), Tonggak (1987), Sembilu (1991), Ambang (1992), Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Utan Kayu Tafsir dalam Permainan (1998).

Ketika seorang penyair wafat, ia tidak akan bisa digantikan oleh siapa pun. Ia pergi membawa segala proses pemikirannya yang penuh keindahan. Tidak ada satu pun yang bisa menirunya, tidak ada.

Meski demikian, izinkan saya Pak Jokpin, izinkan saya menjadi penerusmu; bersuara dengan kata dan sajak, dengan huruf dan spasi, membawa kalimat per kalimat melalangbuana jauh, sejauh engkau pergi hari ini. 

Damai di sisi-Nya

Selamat berpulang

Selamat beribadah dengan puisi

Terima kasih telah menjadi guru untuk kami, untuk saya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film “Dirty Vote,” Bukti Kebiadaban Pemerintahan Jokowi

PERINGATAN : Tulisan ini bukan kajian ilmiah yang tersusun rapi dengan kalimat akademik dan sajian data konkrit. Bukan juga berisi pujian untuk menyanjung junjunganmu. Jadi bagi Anda yang merasa pendukung fanatik Presiden Jokowi maupun paslon tertentu, sebaiknya Anda tidak perlu membaca tulisan yang isinya hanya “sumpah serapah” untuk idolamu itu. FILM dokumenter “Dirty Vote” tayang hari ini, Ahad, 11 Februari 2024 pukul 11.11 WIB di kanal YouTube Dirty Vote. Saya buru-buru mengunduh film tersebut, khawatir sewaktu-waktu bisa di-takedown. Ya, saya memang sangat pesimis dengan kebebasan berbicara/berekspresi di negeri yang katanya demokrasi ini. Pukul 20.00 WIB, film tersebut selesai saya tonton. Bergegas saya buka Microsoft Word yang ada di laptop untuk menuangkan segala emosi yang terangkum selama menyaksikan “Dirty Vote.” Film yang disutradarai Dandhy Laksono ini kembali berhasil membuat saya meneteskan air mata. Bisa dibilang, jejak air itu belum sepenuhnya kering saat tulisan

Tepung Seharga Nyawa Manusia

Alkisah, di sebuah kota suci nan subur Hidup manusia mulia yang diserang sekelompok penjahat bengis; tak berhati dan tak pula berakal Para penjahat itu bermodalkan kebodohan dan keserakahah Dengan besar kepala mereka melawan kebenaran  Lucunya, langkah kejahatan itu didukung oleh pamannya, Paman Sam Lalu ketika seluruh hati di dunia terketuk dan mengutuk, Paman Sam tiba-tiba berubah peran Ambil langkah "kemanusiaan" Pura-pura berbaik hati Bah, pandai kali aktingnya Kirim bantuan lewat udara Jatuhkan makanan dari langit pantai Gaza Warga setempat yang kelaparan berlarian menuju ke situ Ternyata itu bukan hanya tempat makanan tapi juga tempat pemakaman Tepung yang dijatuhkan Paman Sam, seharga 150 nyawa manusia Mereka meregang nyawa di atas peti makanan Belum sempat mereka merasa kenyang, darahnya sudah lebih dulu terkuras Peti bantuan itu mendadak berubah warna Menjadi merah Semerah darah para syuhada Wanginya semerbak menembus layar handphone di gengaman umat manusia Aromanya

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba