Langsung ke konten utama

Benarkah Perempuan Selalu Benar?

ADA satu kalimat yang begitu risih saya dengar, "Perempuan selalu benar" atau "Perempuan tidak pernah salah." Sayangnya, kalimat ini pun kerap kali diamini oleh sebagian perempuan. Padahal kalimat ini menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang cacat logika sehingga tidak bisa membedakan mana benar, mana salah.

Pernyataan "Perempuan selalu benar" awalnya muncul dari mulut laki-laki yang kalah berdebat karena kesulitan mencari pembelaan diri. Dalam posisi terdesak, ego laki-laki itu kemudian mengeluarkan kalimat tersebut sebagai bentuk defensif. 

Ada sebuah teori menarik dalam film Kill The Messenger, "Bila tak mampu membantah substansi persoalan, maka bunuhlah karakter sang pembawa pesan." Ya, kalimat "Perempuan selalu benar" dan "Perempuan tidak pernah salah" menjadi serangan dadakan dari laki-laki yang merasa terpojok karena tak bisa berargumen, mereka kemudian menjadikan kalimat ini untuk "membunuh" perempuan.

BACA JUGA: Perempuan, Tubuh, dan Stigma

Di masa kini, kalimat "Perempuan selalu benar" dan "Perempuan tidak pernah salah" sering digunakan manusia-manusia jagat maya, berseliweran di linimasa dan kolom komentar. "Women ☕️," kata mereka, kaum misogini.

Mirisnya, kalimat itu juga digunakan sebagian perempuan untuk membela dirinya ketika tersudutkan. "Perempuan kan tidak pernah salah," katanya angkuh. Barangkali persetujuan dari sebagian perempuan yang melabeli dirinya selalu benar inilah yang membuat kalimat itu terus digaungkan dan laki-laki misogini merasa menang karena toh perempuan pun meyakini demikian. Perempuan yang seperti ini tidak sadar bahwa mereka sedang direndahkan dan merendahkan dirinya sendiri. 

Sebagai perempuan, saya sadar betul bahwa saya sering melakukan kesalahan. Setelah itu, saya belajar untuk meminta maaf karena minta maaf menjadi simbol pengakuan dosa paling sederhana. Apa susahnya mengakui kesalahan? Tak perlu bersembunyi di balik kalimat "Perempuan selalu benar." Jangan mau dikerdilkan dengan kalimat marginal itu karena kita punya akal untuk mencerna apakah kita salah atau benar.

BACA JUGA: Mirabal Bersaudara Dibunuh Karena Mereka Perempuan

Bagi laki-laki yang masih sering menggunakan kalimat itu untuk menutupi kebodohanmu dalam berargumen, belajarlah lebih banyak soal retorika. Pahami bahwa isi kepalamu seharusnya lebih luas daripada mulutmu. Kalimat naif "Perempuan selalu benar" dan "Perempuan tidak pernah salah" tak akan keluar dari bibir laki-laki yang berlogika sehat.

Karena sampai tulisan ini dibuat, saya tidak pernah mendengar kalimat tersebut diucapkan oleh laki-laki maupun perempuan yang matang nalar berpikirnya.***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenun Kwatek, Karya Tangan Perempuan Adonara

   Kwatek Adonara saat dikenakan Penulis SUDAH tidak asing lagi jika kita mengetahui bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kain tradisional. Begitu pula di Pulau Adonara. Pulau ini menjadi salah satu daerah yang memiliki kain tenun sebagai kain tradisionalnya. Pulau Adonara sendiri terletak di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat Adonara, tenun ini dipakai dalam berbagai acara seperti upacara adat, pernikahan, pemakaman, dan hari-hari besar lainnya, baik hari besar nasional ataupun hari besar agama. Selain itu, kain tenun ini juga dikenakan sehari-hari oleh masyarakat Adonara dan dijadikan cendramata bagi wisatawan yang berkunjung ke sana.  Tenun Adonara memiliki tiga motif, pertama motif dengan warna-warni bergaris lurus lebar merupakan kain Kewatek (berbentuk seperti sarung), yang kedua motif dengan warna yang monoton serta bergaris lurus kecil-kecil adalah Nowing (berbentuk seperti sarung) dan yang ketiga motif berwarna dan bergaris lurus a...

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba...

Yang Berharga, Hiduplah Lebih Lama

Satu hal yang pasti bahwa mereka tidak lagi muda. Sebagian besar warna rambutnya sudah tak hitam, kerutan di tangan dan wajahnya kian tampak, beberapa gigi pun telah tanggal. Sudah lebih dari separuh abad, hidupnya di muka bumi. Kenyataan ini membuatku terisak, meski tanpa suara.  Aku berada jauh. Menyeberangi lautan dan udara. Baktiku tentu hanya setitik dibandingkan embusan perjuangan dan kasihnya. Fakta ini, membuat genangan di mataku sering tumpah, meski lagi-lagi tanpa suara. Perempuan itu begitu lembut tapi juga tegas. Aku dan dirinya sering kali beradu. Maklum, egoku yang teramat kental susah sekali dicairkan. Tapi doa-doanya adalah payung atas segala badai. Hidupku adalah berkat dari sujud panjangnya dan rapalan kalimat yang ia tuangkan merayu Sang Tuhan.  Sementara itu, seorang pria gagah dengan tangan lebar dan sedikit kasar. Telapak kakinya pun demikian. Tapi dari tangan dan kaki itulah aku tumbuh dan berdikari; menjadi kaktus di tengah gersang, menjadi api di tenga...