(Pict: Pinterest) |
TIDAK ada yang meminta untuk dilahirkan di dunia ini, kita pun tidak bisa memilih lahir dengan kondisi seperti apa. Setelah menjalani peran sebagai manusia di bumi ini, sepertinya kita terus menerus "dipaksa" untuk beradaptasi dengan kehidupan. Mungkin belum sempurna, bahkan tidak akan sempurna menjadi manusia yang bisa dibanggakan seutuhnya, tapi itulah kita; manusia.
Banyak hal yang membuat kita belajar bahwa sebagai manusia, kita bisa benar, bisa juga salah, bisa menang, juga bisa kalah. Kita bisa marah dan sedih, kita pun bisa tertawa dan bahagia. Dengan memaklumi diri sebagai manusia biasa, kita semakin tahu bahwa ternyata diri ini tidak perlu selalu berhasil. Menerima bahwa kita bisa gagal, bahkan berhak untuk itu.
Ini bukan tentang menjadi manusia putus asa, egois, atau pun enggan berbenah, bukan itu poinnya. Tetapi mari belajar memaklumi bahwa tidak semua hal harus dimenangkan. Kita tidak harus selalu jadi yang terdepan, teratas, tercepat, atau apa pun itu. Mencintai diri dimulai dengan berusaha maksimal dan menerima apa pun hasilnya dengan berbaik sangka. Usaha yang keras tidak selalu berbanding lurus dengan hasil yang memuaskan, tapi mengapresiasi atas kerasnya perjuangan yang telah kita lakukan adalah keharusan. Entah berhasil atau gagal, entah menang atau kalah, perjuanganmu adalah milikmu; wujud dari betapa hebatnya kamu.
Jika menengok ke belakang, sepertinya diri ini belum menggapai apa pun, sementara orang lain melangkah dengan begitu cepat. Ternyata membandingkan diri dengan orang lain adalah wujud lain dari bunuh diri. Semua yang ada telihat remeh ketika dibandingkan dan itu melelahkan. Padahal hidup yang bahagia bukan tentang siapa mengalahkan siapa.
Kita berlomba menjadi sang juara, disanjung, menjadi idola banyak orang. Tetapi nyatanya tidak semua orang berada di posisi itu. Ada mereka yang memilih berbahagia dengan menjadi ‘karpet merah’ bagi orang-orang yang maju ke depan. Ada mereka yang bahagia ketika berdiri di bawah memberikan tepuk tangan agar sang juara merasa senang. Jika semua menjadi sang juara, lantas siapa yang bertepuk tangan untukmu? Pada akhirnya, kita memiliki posisi masing-masing dan hidup yang rumit ini seharusnya tidak perlu dipersulit lagi dengan kompetisi yang menyakitkan. Mari kembali meyakinkan diri bahwa bahagia bisa diciptakan dari mana saja, baik saat kamu juara maupun saat menyerah. Mengapa menyerah memiliki konotasi negatif, padahal sebagai manusia kita berhak untuk itu?!
BACA JUGA: KITA TIDAK PERNAH BERJUANG SENDIRIAN
Setiap kita berjuang untuk hidup, kita adalah tokoh utama dalam masing-masing cerita kita, tapi sayangnya kita tidak pernah tahu bagaimana cerita ini akan berakhir, apakah happy ending atau sebaliknya. Pantaskah kita saling meremehkan jika semua orang berusaha mati-matian untuk melanjutkan hidup? Tidak ada yang mudah, kita semua mengalami kesulitan dan itu lumrah. Mari berhenti merasa baik-baik saja padahal kepalamu hampir meledak. Sesekali terlihat rapuh bukanlah tindakan kriminal, kita tidak perlu terus-menerus bersembunyi di balik senyum palsu. Menangislah, manusia normal melakukan itu.
Kita layak untuk dicintai terutama oleh diri kita sendiri. Sebelum mendapatkan kepercayaan orang lain, seharusnya kita adalah orang pertama yang percaya bahwa kita bisa mengambil keputusan yang baik, melakukan banyak hal dengan hebat, serta mampu berdiri lagi dengan kokoh setelah berkali-kali tumbang. Membangun kepercayaan diri seperti ini memang akan memakan waktu, tapi aku dan kamu pasti bisa melakukannya.
Tuhan menciptakan kita sebagai makhluk-Nya yang paling sempurna. Kita menjadi makhluk sempurna karena adanya ketidaksempurnaan yang melekat pada diri kita sebagai manusia. Kita tidak pernah luput dari salah dan lupa, kita memiliki beragam emosi, kita diberikan hati dan akal yang keduanya terkadang saling berseteru. Tapi itulah kita; manusia, salah satu mahakarya Tuhan Yang Maha Agung. Kejam kiranya jika mengutuk diri yang lahir dengan segala kekurangan ini. Alih-alih mencintai diri sebagai makhluk-Nya yang indah, kita malah sering kali sibuk menggerutu dan menghujat takdir. Padahal kita sudah cukup hebat meski tak selalu terlihat keren.
BACA JUGA: INSECURE DI USIA 20++
Rasanya kita memang sering ingin tampil sempurna, unggul dalam segala bidang. Entah bagaimana lingkungan berhasil membuat kita berpikir seperti itu. Kita sama sekali tidak mengizinkan diri kita untuk kalah bahkan ketika itu adalah waktu terbaik untuk mengalah. Kita melakukan segalanya demi reputasi, memaksakan diri untuk mendapat pengakuan di tengah masyarakat bahwa kita adalah sosok sempurna itu. Lalu setelah berusaha hingga sekarat kita dihadapi kekacauan karena berakhir gagal. Saat itu, kita seolah ingin menghilang dari dunia, merasa bahwa menjadi manusia yang ideal pun kita tidak becus. Sebenarnya standar ideal apa yang dipakai untuk menjadi manusia, sampai kita bisa tidak mencintai diri sendiri dan enggan menerima bahwa kita tidak selalu menjadi pemenang?
Ah, sepertinya tulisan ini terlalu mengguruimu, padahal si penulis adalah manusia ceroboh yang masih tertatih-tatih berusaha menerima ketidaksempurnaannya.
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ternyata syarat agar bisa memberikan kasih sayang kepada orang lain ialah mengasihi dan mencintai diri sendiri terlebih dahulu. Mari berupaya memenuhi syarat ini. Mari membaik bersama. Mari belajar menerima bahwa ketidaksempurnaan adalah anugerah. Mari mencintai diri kita dan kehidupan yang berharga ini. Kita tidak mungkin selalu bahagia, tidak juga selalu menang, ada kesempatan kita kecewa dan kalah. Tidak apa-apa, manusia normal merasakan itu.**
BACA JUGA: TUHAN, DUNIA INI MELELAHKAN
BACA JUGA: KITA LUPA MENYIAPKAN HATI UNTUK KECEWA
Rin 🥺🥺
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Hapus🤗🤗
Hapus