RENTETAN demo mahasiswa dari seluruh penjuru Indonesia berlangsung berturut-turut dengan membawa sejumlah tuntutan yang tak jauh berbeda; tolak tiga periode dan tunda pemilu, protes kenaikan harga pangan, Bahan Bakar Minyak (BBM), hingga Pajak Pertambahan Nilai (PPN), juga kontroversi UU Cipta Kerja, sampai Kasus Wadas yang belum tuntas.
Tidak hanya di Jakarta, aksi demo mahasiswa turut digelar di kota-kota lain, mulai dari Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, Ambon, hingga Manokwari.
Aksi unjuk rasa mahasiswa bukanlah hal yang baru di negara demokrasi ini. Kebebasan berpendapat diatur dalam konstitusi, salah satunya termaktub di Pasal 28 dan Pasal 28E ayat 3 Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
Menggelar demonstrasi juga menjadi salah satu cara yang dihalalkan konstitusi untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Tertulis dalam UU nomor 9 tahun 1998, pasal 9 ayat 1, "Bentuk penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan dengan unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, dan atau mimbar bebas."
Namun ada yang berbeda dari demo mahasiswa pada Senin, 11 April 2022 ini. Penganiayaan terhadap aktivis media sosial, Ade Armando di tengah kerumunan massa aksi depan gedung DPR RI, Senayan, Jakarta menghebohkan publik. Media massa gencar memberitakan Ade Armando yang terlihat menjadi "korban" pengeroyokan.
Aktivis yang sering mengeluarkan pernyataan kontroversial, terutama yang melukai umat Muslim itu terlihat cukup mengenaskan. Dalam video yang beredar, Ade dipapah aparat polisi dengan wajah babak belur dan setengah telanjang.
Ada yang janggal. Entah alasan apa yang membuat Ade Armando turut hadir dalam aksi demo mahasiswa ini. Seolah-olah ia disiapkan menjadi "tumbal" dalam aksi tersebut, menggiring opini publik bahwa mahasiswa bersikap anarkis. Ketika beritanya memenuhi media massa dan media sosial, berita ihwal tuntutan mahasiswa yang dibawa saat unjuk rasa tenggelam di linimasa.
Sandiwara apa lagi yang sedang dimainkan?
Selain itu, ada lagi kisah unik dalam aksi demo mahasiswa. Koordinator Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), Kaharudin menyerahkan simbol "Korek Kuping" berukuran besar kepada perwakilan DPR yang berdialog dengan mahasiswa saat aksi 11 April di depan gedung DPR RI.
Simbol itu sebagai bentuk sindiran kepada wakil rakyat yang enggan mendengar suara rakyat. Barangkali telinga mereka terlalu kotor, atau dinding gedung DPR yang terlalu tebal. Suara-suara lirih tidak cukup kencang untuk menembusnya.
Sebagai warga Indonesia, perlu kiranya mengapresiasi gerakan-gerakan pemuda, terutama mahasiswa yang mau turun ke jalan menggemakan aspirasi rakyat. Terik kepanasan, mendung kehujanan, apalagi di tengah menjalani ibadah puasa Ramadhan ini.
Tetapi ada juga yang perlu dikritisi. Terlihat beberapa mahasiswa membawa kertas bertuliskan hal-hal tabu yang seharusnya tidak disuarakan oleh seorang akademisi.
Mungkin beberapa foto itu pernah lewat di beranda media sosial Anda. Para mahasiswa dibalut jas almamater kebanggaan memegang kertas bertuliskan, "Cukup perawan yang langka, minyak goreng jangan, Pak." Bahkan ada yang lebih parah. Seorang mahasiswi mengacungkan kertas dengan tulisan, "Lebih baik bercinta 3 ronde, dari pada tiga periode." Serta masih banyak tulisan-tulisan tidak senonoh lainnya yang merendahkan martabat penulisnya sendiri.
Apalagi itu dibawa oleh para mahasiswa yang telah digadang-gadang menjadi "agent of change." Benar memang, keberanian saja tidak cukup untuk menyuarakan kebenaran, harus disertai ilmu, iman, dan akhlak.
Namun terlepas dari itu semua, satu tuntutan mahasiswa telah mendapat angin segar dari Presiden RI Joko Widodo. Ia telah lugas menyatakan pemilu akan digelar pada 14 Februari 2024.
Meskipun kita tak bisa percaya 100 persen pada rezim yang pernah mendapat label "King of Lip Servis," tapi untuk sementara kita bisa menarik nafas lega.
Jika ia berdusta dan mengkhianati konstitusi, Anda sudah pasti tahu kan harus berbuat apa?**
Komentar
Posting Komentar