Langsung ke konten utama

Mengapa Hanya Kartini?



TANGGAL 21 April kembali berulang, setiap tahunnya diperingati sebagai hari nasional, Hari Kartini sesuai dengan kelahiran pahlawan nasional, Raden Ajeng Kartini --tertera di kalender Indonesia, dirayakan seluruh rakyat Indonesia.

Hari Kartini ditetapkan pada tanggal 2 Mei 1964 melalui Keputusan Presiden RI No 108/1964 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno.

Pernahkan Anda bertanya-tanya, mengapa hanya Kartini? Bukankah begitu banyak pahlawan dari kalangan perempuan di negeri ini? Seistimewa apa Kartini hingga hari lahirnya diperingati setiap tahun di seluruh Indonesia?

Jika karena ia memperjuangkan emansipasi wanita, nah toh bukan hanya Kartini. Ia hanya salah satu pahlawan dari sekian banyak pahlawan perempuan yang memperjuangkan hak perempuan dan kesetaraan gender di negeri ini. Tapi mengapa Kartini begitu diagungkan? Apakah ia lebih besar pengorbanannya dibandingkan pahlawan perempuan yang lain?

Pejuang emansipasi wanita lainnya yang sering terlupakan ialah Dewi Sartika. Perempuan kelahiran Bandung, 4 Desember 1884 itu adalah tokoh perintis pendikan untuk perempuan generasi bangsa ini. Dewi Sartika baru diakui sebagai pahlawan nasional 2 tahun sejak Kartini diakui, yakni pada 1966.

Kartini hanya mendirikan sekolah untuk kaum bangsawan, sama seperti dirinya. Sementara Dewi Sartika sejak usia 10 tahun sudah mengajarkan baca tulis dan bahasa Belanda kepada perempuan-perempuan rakyat jelata.

Sekolah Kartini berasal dari fasilitas kekayaan suami dan keluarganya yang merupakan pembesar di Jepara pada saat itu.

Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda dengan harta dan tabungan pribadinya sendiri. Meskipun tidak murni seluruhnya harta pribadi, karena bupati Bandung pun ikut menyumbang, tapi dalam perkembangannya, biaya renovasi dan perawatan sekolah itu menggunakan harta pribadi Dewi Sartika, hingga berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan).

Tidak berniat membandingkan, tapi sepertinya tidak adil jika Hari Kartini masuk kalender Indonesia dan dirayakan dengan parade busana daerah oleh semua perempuan Indonesia, sedangkan pahlawan perempuan lain yang memiliki peran penting malah terabaikan.

Tidak seperti dengan Cut Nya’ Dhien, Christina Martha Tiahahu, Kartini bahkan tidak berhadapan langsung dengan penjajah. Kartini hidup dalam kemewahan lingkungan pemerintahan penjajah Belanda dan bangsawan Jawa pada waktu itu. Kartini tidak mengorbankan nyawanya seperti Cut Nya’ Dhien atau Martha Tiahahu menghadapi penjajah.

Anda pernah dengar pahlawan perempuan bernama Laksamana Malahayati?

Dalam berbagai catatan sejarah, Malahayati dikenal sebagai laksamana laut perempuan pertama di Indonesia. Ia adalah panglima perang Kesultanan Aceh yang tersohor berkat keberaniannya melawan armada angkatan laut Belanda dan Portugis pada abad ke-16 M.

Ia melawan musuh-musuhnya menggunakan senjata rencong. Malahayati memimpin 2000 janda (Inong Balee) dalam pertarungan melawan Belanda. Ia berhasil membunuh pimpinan Belanda, Cornelis de Houtman, dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal pada tanggal 11 September 1599.

Saya bahkan tidak menemukan kisah Malahayati di buku-buku sekolah. Saya mengenalnya lewat lagu milik Musisi Legend, Iwan Fals berjudul "Laksamana Malahayati."

Dengan sepak terjangnya yang begitu tangguh, tetapi Malahayati baru mendapat gelar pahlawan nasional pada 2017. Miris!

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Raden Ajeng Kartini, saya ingin katakan bahwa begitu banyak pahlawan perempuan yang memiliki andil besar pada kemajuan pendidikan perempuan, emansipasi wanita, kesetaraan gender, bahkan kemerdekaan Republik Indonesia.

Kartini memang berjasa, sangat berjasa. Tapi jangan sampai pengkultusan berlebihan terhadap Kartini membuat kita abai terhadap pahlawan perempuan lainnya yang juga berjuang mati-matian untuk perempuan bangsa ini.

Bukankah sebaiknya Hari Kartini diganti dengan Hari Pahlawan Perempuan saja?

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film “Dirty Vote,” Bukti Kebiadaban Pemerintahan Jokowi

PERINGATAN : Tulisan ini bukan kajian ilmiah yang tersusun rapi dengan kalimat akademik dan sajian data konkrit. Bukan juga berisi pujian untuk menyanjung junjunganmu. Jadi bagi Anda yang merasa pendukung fanatik Presiden Jokowi maupun paslon tertentu, sebaiknya Anda tidak perlu membaca tulisan yang isinya hanya “sumpah serapah” untuk idolamu itu. FILM dokumenter “Dirty Vote” tayang hari ini, Ahad, 11 Februari 2024 pukul 11.11 WIB di kanal YouTube Dirty Vote. Saya buru-buru mengunduh film tersebut, khawatir sewaktu-waktu bisa di-takedown. Ya, saya memang sangat pesimis dengan kebebasan berbicara/berekspresi di negeri yang katanya demokrasi ini. Pukul 20.00 WIB, film tersebut selesai saya tonton. Bergegas saya buka Microsoft Word yang ada di laptop untuk menuangkan segala emosi yang terangkum selama menyaksikan “Dirty Vote.” Film yang disutradarai Dandhy Laksono ini kembali berhasil membuat saya meneteskan air mata. Bisa dibilang, jejak air itu belum sepenuhnya kering saat tulisan

Tepung Seharga Nyawa Manusia

Alkisah, di sebuah kota suci nan subur Hidup manusia mulia yang diserang sekelompok penjahat bengis; tak berhati dan tak pula berakal Para penjahat itu bermodalkan kebodohan dan keserakahah Dengan besar kepala mereka melawan kebenaran  Lucunya, langkah kejahatan itu didukung oleh pamannya, Paman Sam Lalu ketika seluruh hati di dunia terketuk dan mengutuk, Paman Sam tiba-tiba berubah peran Ambil langkah "kemanusiaan" Pura-pura berbaik hati Bah, pandai kali aktingnya Kirim bantuan lewat udara Jatuhkan makanan dari langit pantai Gaza Warga setempat yang kelaparan berlarian menuju ke situ Ternyata itu bukan hanya tempat makanan tapi juga tempat pemakaman Tepung yang dijatuhkan Paman Sam, seharga 150 nyawa manusia Mereka meregang nyawa di atas peti makanan Belum sempat mereka merasa kenyang, darahnya sudah lebih dulu terkuras Peti bantuan itu mendadak berubah warna Menjadi merah Semerah darah para syuhada Wanginya semerbak menembus layar handphone di gengaman umat manusia Aromanya

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba