Langsung ke konten utama

Gonjang-Ganjing Pemilu 2024

 


DI TAHUN politik kali ini, isu penundaan pemilu 2024 ramai menjadi perbincangan publik, baik dari masyarakat awam, maupun dari para pakar.

Narasi-narasi pro dan kontra ihwal penundaan pemilu masih menjadi topik hangat dan mencuri perhatian. Penundaan pemilu juga dinilai sebagai upaya perpanjangan masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan wakilnya, Ma'ruf Amin.

Wacana ini digulirkan pertama kali oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Muhaimin Iskandar alias Cak Imin yang mengusulkan agar Pemilu 2024 ditunda satu atau dua tahun dengan dalih pemulihan ekonomi di masa pandemi Covid-19. 

Usulan ini lalu mendapat dukungan dari Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN). 

Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto mengaku dirinya menerima aspirasi dari kalangan petani di Kabupaten Siak, Riau, yang ingin masa jabatan Presiden Jokowi diperpanjang.

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Menurut Zulkifli, terdapat sejumlah alasan yang membuat pihaknya mendukung penundaan pemilu, mulai dari situasi pandemi, kondisi ekonomi yang belum stabil, hingga anggaran pemilu yang membengkak.

Setelah wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden naik di permukaan, lahir beragam kritik dari para pakar yang menilai wacana itu mencederai konstitusi.

BACA JUGA: Anda Setuju Ibu Kota Negara Pindah?

Pengamat politik, Tony Rosyid bahkan menilai hal tersebut adalah bentuk pengkhianatan terhadap reformasi. Menurut Tony, ketika seorang penguasa menjabat lebih dari dua periode, maka akan muncul potensi menjadi pemimpin yang otoriter. Jika Jokowi akan menjabat tiga periode, maka reformasi yang diperjuangkan ketika masa Orde Baru akan menjadi sia-sia.

Demokrasi hanya bisa dijaga dan dipertahankan eksistensinya apabila seorang penguasa dibatasi masa jabatannya hanya dua periode.

Pengamat politik Rocky Gerung turut melontarkan kritiknya ihwal wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Ia tidak setuju dengan anggapan partai politik yang mengatakan bahwa masalah ekonomi Indonesia hanya bisa selesai dengan perpanjangan masa jabatan.

Pasalnya, di penghujung rezim Jokowi ini, krisis pangan Indonesia malah menggeliat. Fenomena melonjaknya harga minyak goreng, tahu tempe, hingga daging sapi menjadi masalah besar bagi masyarakat. Sehingga sangat tidak relevan jika dikatakan Jokowi perlu diberi waktu tambahan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut.

Jika tidak mampu, bukankah sebaiknya diganti saja?

Selain dua tokoh tadi, pengamat politik ekonomi, Ichsanuddin Noorsy ikut nimbrung mengomentari wacana tiga periode ataupun penundaan Pemilu 2024. Ia mempertanyakan ihwal indikator apa yang dipakai untuk mengukur kinerja pemerintahan Jokowi sehingga harus diperpanjang menjadi tiga periode.

Jika Jokowi tidak menolak dengan tegas isu penundaan pemilu, berarti ia telah melanggar sumpah jabatan yang diikrarkannya ketika dilantik menjadi Presiden RI.

Tindakan hukum di era kepemimpinan Jokowi pun menjadi sorotan Noorsy.  Ia menilai penegakan hukum di rezim Jokowi tidak mencerminkan keadilan, sehingga tidak pantas masa jabatan pemerintahan yang kacau seperti ini diperpanjang.

BACA JUGA: Polisi VS Everybody

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana melihat wacana penundaan pemilu ini sebagai masalah krusial dan berbahaya bagi kehidupan bangsa dan bernegara. Ia bahkan telah mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Jokowi yang berisi kritik dan penolakannya terhadap penundaan Pemilu 2024.

Dalam surat itu, ia menggunakan frasa kata "Pembatalan Pemilu" bukan "Penundaan Pemilu." Ini menunjukkan kegeramannya terhadap wacana ini. 

Kata penundaan memiliki makna waktu yang singkat, sedangkan jika Pemilu 2024 digeser hingga 2026/2027, maka tidak bisa lagi disebut "ditunda," melainkan "dibatalkan."

Menurutnya, Jokowi bisa saja dipecat dari jabatannya sebagai Presiden RI jika menyetujui penundaan Pemilu 2024.

Wacana penundaan pemilu ini masih terus berhembus. Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menekankan, bahwa dalam konstitusi dan Undang-undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tidak ada ruang untuk menunda penyelengaraan pesta demokrasi dengan alasan-alasan seperti yang dikemukakan oleh sejumlah elit politik.

Pasal 7 UUD 1945 telah membatasi masa jabatan presiden lima tahun setiap periodenya, dan maksimal dua periode. Pemilu pun diatur dalam pasal 22E ayat 1, dilaksanakan secara periodik lima tahun sekali. Maka jelas, penundaan pemilu adalah bentuk pelanggaran konstitusi.

BACA JUGA: UU ITE, Bersuara Berarti Dipenjara?

Para pakar yang bersuara keras menolak penundaan Pemilu 2024 dan wacana tiga periode ini, mengaku kecewa dengan sikap Jokowi yang tidak lantang menolak usulan tiga parpol tersebut.

Usulan ini sebelumnya pernah mencuat pada tahun 2019. Jokowi kala itu langsung menolak tegas dengan usulan masa jabatan tiga periode. 

"Kalau ada yang usulkan itu, ada tiga (motif) menurut saya, ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan. Itu saja," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, 2 Desember 2019.

Pada 2021 ketika isu tersebut kembali naik, Jokowi juga lantang menolak perpanjangan masa jabatan.

"Saya tegaskan, saya tidak ada niat. Tidak ada juga berminat menjadi presiden tiga periode," kata Jokowi melalui tayangan YouTube Sekretariat Presiden, Senin (15/3/2021).

Namun berbeda dengan tahun ini. Kali ini, Jokowi menyatakan, wacana penundaan pemilu tidak bisa dilarang. Sebab, hal itu bagian dari demokrasi.

Jika dilihat dari kacamata awam, penundaan Pemilu 2024 tidak menguntungkan siapa pun, kecuali mereka-mereka yang kecipratan kekuasaan. Para anggota DPR yang juga akan diperpanjang masa jabatannya ketika pemilu ditunda, tentu amat girang. Mereka tidak perlu berebut kursi, malah dipersilakan duduk lebih lama dengan cuma-cuma.

Namun sebagai negara demokrasi, seharusnya wakil rakyat dan presiden malu jika menjabat tidak didasari suara rakyat. Satu-satunya kesempatan suara rakyat didengar ialah ketika pemilu. Masa' mau dibungkam juga?

Lalu apakah Anda setuju Pemilu 2024 ditunda dan masa jabatan Jokowi-Ma'ruf diperpanjang? Atau Anda sepakat dengan para pakar di atas?**


BACA JUGA: Pulau Komodo Zona Konservasi bukan Lahan Bisnis Investasi


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film “Dirty Vote,” Bukti Kebiadaban Pemerintahan Jokowi

PERINGATAN : Tulisan ini bukan kajian ilmiah yang tersusun rapi dengan kalimat akademik dan sajian data konkrit. Bukan juga berisi pujian untuk menyanjung junjunganmu. Jadi bagi Anda yang merasa pendukung fanatik Presiden Jokowi maupun paslon tertentu, sebaiknya Anda tidak perlu membaca tulisan yang isinya hanya “sumpah serapah” untuk idolamu itu. FILM dokumenter “Dirty Vote” tayang hari ini, Ahad, 11 Februari 2024 pukul 11.11 WIB di kanal YouTube Dirty Vote. Saya buru-buru mengunduh film tersebut, khawatir sewaktu-waktu bisa di-takedown. Ya, saya memang sangat pesimis dengan kebebasan berbicara/berekspresi di negeri yang katanya demokrasi ini. Pukul 20.00 WIB, film tersebut selesai saya tonton. Bergegas saya buka Microsoft Word yang ada di laptop untuk menuangkan segala emosi yang terangkum selama menyaksikan “Dirty Vote.” Film yang disutradarai Dandhy Laksono ini kembali berhasil membuat saya meneteskan air mata. Bisa dibilang, jejak air itu belum sepenuhnya kering saat tulisan

Tepung Seharga Nyawa Manusia

Alkisah, di sebuah kota suci nan subur Hidup manusia mulia yang diserang sekelompok penjahat bengis; tak berhati dan tak pula berakal Para penjahat itu bermodalkan kebodohan dan keserakahah Dengan besar kepala mereka melawan kebenaran  Lucunya, langkah kejahatan itu didukung oleh pamannya, Paman Sam Lalu ketika seluruh hati di dunia terketuk dan mengutuk, Paman Sam tiba-tiba berubah peran Ambil langkah "kemanusiaan" Pura-pura berbaik hati Bah, pandai kali aktingnya Kirim bantuan lewat udara Jatuhkan makanan dari langit pantai Gaza Warga setempat yang kelaparan berlarian menuju ke situ Ternyata itu bukan hanya tempat makanan tapi juga tempat pemakaman Tepung yang dijatuhkan Paman Sam, seharga 150 nyawa manusia Mereka meregang nyawa di atas peti makanan Belum sempat mereka merasa kenyang, darahnya sudah lebih dulu terkuras Peti bantuan itu mendadak berubah warna Menjadi merah Semerah darah para syuhada Wanginya semerbak menembus layar handphone di gengaman umat manusia Aromanya

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba