Langsung ke konten utama

Setiap Tahun Memiliki Porsi Seimbang, Bye 2021

Loc: Keraton Ratu Boko, Yogyakarta

GAK TERASA YA, 2021 baru saja kita tinggalkan. Kalau diingat-ingat, ternyata banyak peristiwa yang membuat kita belajar bahwa segala sesuatu bisa terjadi begitu saja sesuai kehendak Tuhan. Lagi-lagi kita disadarkan bahwa kita hanyalah hamba; lemah dan tak berdaya.


Sepertinya kita tidak akan lupa, bagaimana Gempa Mamuju menewaskan saudara saudara kita di sana. Kita juga tentu masih ingat, bagaimana banjir bandang merengut paksa puluhan nyawa sanak keluarga kita yang ada di Nusa Tenggara Timur. Lalu kemudian kita dikejutkan dengan berita hilangnya Kapal Selam Nanggala 402, banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan yang terbaru; erupsi Gunung Semeru. Ditambah lagi pandemi yang masih terus menghantui.

Betapa mudahnya Tuhan menghancurkan semua itu, namun kita masih saja terus menerus menentangNya.

Tahun 2021 mungkin banyak sedihnya, ada yang kehilangan orang-orang terkasih, ada yang gagal dalam hubungan ataupun karir, ada yang jatuh sakit, jatuh cinta, bahkan jatuh tempo. Gapapa, selalu baik baik saja juga belum tentu yang terbaik, karena kita perlu dibenturkan agar mudah dibentuk.

Coba tengok ke belakang, banyak bahagianya juga kan? Dipertemukan dengan orang-orang hebat, mengalami pengalaman baru, menjalani peran yang baru, menyelesaikan berbagai persoalan, mendapat kesempatan berharga, kemudian semakin mencintai diri sendiri.

Ya, tidak ada tahun yang buruk. Semua memiliki porsi suka-duka yang seimbang untuk semakin mendewasakan kita.

Semoga kita tidak luput dari rasa syukur kepadaNya atas kemudahan, kebahagiaan, kesulitan yang membuat kita kuat, kesukaran yang menjadikan kita tabah, dan berbagai macam peristiwa yang membuat kita belajar di tahun 2021.

Next, tahun depan harus lebih baik. Bantu kami, Tuhan.**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenun Kwatek, Karya Tangan Perempuan Adonara

   Kwatek Adonara saat dikenakan Penulis SUDAH tidak asing lagi jika kita mengetahui bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kain tradisional. Begitu pula di Pulau Adonara. Pulau ini menjadi salah satu daerah yang memiliki kain tenun sebagai kain tradisionalnya. Pulau Adonara sendiri terletak di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat Adonara, tenun ini dipakai dalam berbagai acara seperti upacara adat, pernikahan, pemakaman, dan hari-hari besar lainnya, baik hari besar nasional ataupun hari besar agama. Selain itu, kain tenun ini juga dikenakan sehari-hari oleh masyarakat Adonara dan dijadikan cendramata bagi wisatawan yang berkunjung ke sana.  Tenun Adonara memiliki tiga motif, pertama motif dengan warna-warni bergaris lurus lebar merupakan kain Kewatek (berbentuk seperti sarung), yang kedua motif dengan warna yang monoton serta bergaris lurus kecil-kecil adalah Nowing (berbentuk seperti sarung) dan yang ketiga motif berwarna dan bergaris lurus a...

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba...

Yang Berharga, Hiduplah Lebih Lama

Satu hal yang pasti bahwa mereka tidak lagi muda. Sebagian besar warna rambutnya sudah tak hitam, kerutan di tangan dan wajahnya kian tampak, beberapa gigi pun telah tanggal. Sudah lebih dari separuh abad, hidupnya di muka bumi. Kenyataan ini membuatku terisak, meski tanpa suara.  Aku berada jauh. Menyeberangi lautan dan udara. Baktiku tentu hanya setitik dibandingkan embusan perjuangan dan kasihnya. Fakta ini, membuat genangan di mataku sering tumpah, meski lagi-lagi tanpa suara. Perempuan itu begitu lembut tapi juga tegas. Aku dan dirinya sering kali beradu. Maklum, egoku yang teramat kental susah sekali dicairkan. Tapi doa-doanya adalah payung atas segala badai. Hidupku adalah berkat dari sujud panjangnya dan rapalan kalimat yang ia tuangkan merayu Sang Tuhan.  Sementara itu, seorang pria gagah dengan tangan lebar dan sedikit kasar. Telapak kakinya pun demikian. Tapi dari tangan dan kaki itulah aku tumbuh dan berdikari; menjadi kaktus di tengah gersang, menjadi api di tenga...