Langsung ke konten utama

Cantik itu Luka

ilustrasi gambar: google

Oleh Lamasta

BEGITU pun bahagia. Dengan rasa yang tak sempat kasat mata pada tatap-tatapku, rasa yang terus melumpur tak akan berhenti memilih mati. Dengan bentuk yang tak bertulang pada sisi hatimu selalu kucandukan di setiap sempatku. Dengan santun kau datang dan menyuruhku pergi dari rasa yang tak pernah kupintakan. Lalu apa bedanya rasa cintaku pada setiap orang yang juga mencintaimu?

Dengan rasa gelisah, jiwa berantakan, dan fikiran tak merata menuju pada haluan puncak resah-resah kecewa, sebab di atas kasur dengan waktu yang sungguh terlampau larut mataku masih saja memilih betah tinggal di layar android. Sejak saat itu cantikmu sudah tak pernah aku ragukan sebab rasa ini terlalu hidup di tiap proses ucapku, dan sampai titik ini apa salahku terhadap rasaku? Apa Tuhan masih salah mengatur rasa yang sungguh perasa di tiap-tiap hati manusia?

'Jika iya aku dan segenap rasa kuatasnamakan dan mengadu pada Tuhan'

BACA JUGA: Setiap Tahun Memiliki Porsi Seimbang, Bye 2021

Setelah terbangun dari penat kecewamu semalaman karena mengatasi rasaku yang menurutmu salah, kau terbangun dan merebahkan sekali lagi kepalamu di atas bantal yang tak jauh dari kata ngantuk. Lalu aku dengan segala harapku yang sulit menyerah dari rumitnya kisah di sebuah kota kasih ini masih bertanya-bertanya tentang kapan sebuah rasa itu tak pernah tersalahkan.

' Jika iya aku tak pernah lagi mau berkompromi dengan malam, yang katanya akan selalu hadir saat pagi membuahi mimpi '

Lalu apa kabar dengan sebuah keindahan? Persetan dengan rasa yang selalu tak pernah dibenarkan.**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film “Dirty Vote,” Bukti Kebiadaban Pemerintahan Jokowi

PERINGATAN : Tulisan ini bukan kajian ilmiah yang tersusun rapi dengan kalimat akademik dan sajian data konkrit. Bukan juga berisi pujian untuk menyanjung junjunganmu. Jadi bagi Anda yang merasa pendukung fanatik Presiden Jokowi maupun paslon tertentu, sebaiknya Anda tidak perlu membaca tulisan yang isinya hanya “sumpah serapah” untuk idolamu itu. FILM dokumenter “Dirty Vote” tayang hari ini, Ahad, 11 Februari 2024 pukul 11.11 WIB di kanal YouTube Dirty Vote. Saya buru-buru mengunduh film tersebut, khawatir sewaktu-waktu bisa di-takedown. Ya, saya memang sangat pesimis dengan kebebasan berbicara/berekspresi di negeri yang katanya demokrasi ini. Pukul 20.00 WIB, film tersebut selesai saya tonton. Bergegas saya buka Microsoft Word yang ada di laptop untuk menuangkan segala emosi yang terangkum selama menyaksikan “Dirty Vote.” Film yang disutradarai Dandhy Laksono ini kembali berhasil membuat saya meneteskan air mata. Bisa dibilang, jejak air itu belum sepenuhnya kering saat tulisan

Tepung Seharga Nyawa Manusia

Alkisah, di sebuah kota suci nan subur Hidup manusia mulia yang diserang sekelompok penjahat bengis; tak berhati dan tak pula berakal Para penjahat itu bermodalkan kebodohan dan keserakahah Dengan besar kepala mereka melawan kebenaran  Lucunya, langkah kejahatan itu didukung oleh pamannya, Paman Sam Lalu ketika seluruh hati di dunia terketuk dan mengutuk, Paman Sam tiba-tiba berubah peran Ambil langkah "kemanusiaan" Pura-pura berbaik hati Bah, pandai kali aktingnya Kirim bantuan lewat udara Jatuhkan makanan dari langit pantai Gaza Warga setempat yang kelaparan berlarian menuju ke situ Ternyata itu bukan hanya tempat makanan tapi juga tempat pemakaman Tepung yang dijatuhkan Paman Sam, seharga 150 nyawa manusia Mereka meregang nyawa di atas peti makanan Belum sempat mereka merasa kenyang, darahnya sudah lebih dulu terkuras Peti bantuan itu mendadak berubah warna Menjadi merah Semerah darah para syuhada Wanginya semerbak menembus layar handphone di gengaman umat manusia Aromanya

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba