Langsung ke konten utama

Benarkah Kita Sudah Merdeka?




PADA HARI kemerdekaan Republik Indonesia ke 75, 17 Agustus 2020, Presiden RI, Joko Widodo menggunakan pakaian adat dari kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur. Ia memposting foto dirinya berbalut pakaian adat tersebut dengan caption epik di akun instagram miliknya. Seolah-olah membuat bangga masyarakat TTS karena pakaian adat mereka dipakai oleh orang nomor satu di negeri ini.

Setelah masyarakat TTS dibuat bangga, keesokan harinya, 18 Agustus 2020 terjadi penggusuran rumah-rumah masyarakat Besipae yang mendiami hutan adat Pubabu di Linamnutu, Amuban Selatan, TTS, Nusa Tenggara Timur. Pergusuran ini dilakukan oleh pemerintah NTT dengan tujuan untuk pengembangan kawasan tersebut sebagai area peternakan, perkebunan dan pariwisata. Kejadian ini benar-benar mencederai kemerdekaan. 

Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi menyebut, di balik baju adat yang dikenakan presiden merupakan "potret gelap" masyarakat adat yang tidak hanya dialami masyarakat adat Besipae, namun juga masyarakat adat di berbagai daerah.

Bangunan rumah yang selama ini menjadi tempat pengungsian warga yang mempertahankan hutan adat mereka dirubuhkan oleh aparat gabungan TNI, Polri dan Satpol PP. Perempuan dan anak-anak di lokasi mendapat intimidasi, baik verbal dan fisik oleh aparat.

Salah satu tokoh masyarakat Besipae, Nikodemus Manao, menyebut banyak anak-anak dan perempuan merasa trauma, apalagi setelah tiga tembakan peringatan aparat meletus. Imbas dari pengrusakan yang dilakukan oleh aparat, sebanyak 29 kepala keluarga kini terpaksa hidup beralaskan tikar dan beratap langit.

Penolakan masyarakat atas pergusuran hutan adat tersebut, berdasarkan surat kontrak lahan atau pinjam pakai oleh perusahaan peternakan asal Australia selama 25 tahun sejak 1987 yang telah berakhir pada 2012 dan masyarakat tidak memperpanjang kontraknya.

Dikuatkan lagi dengan keputusan Mahkamat Konstitusi tahun 2012 yang menegaskan bahwa HUTAN ADAT BUKAN MILIK NEGARA. Maka jelas, pergusuran ini adalah PELANGGARAN. Dan pelanggaran berarti memerlukan HUKUMAN.**
(sumber foto & informasi : Google)

#SaveBasipae #SaveHutanAdatPubabu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film “Dirty Vote,” Bukti Kebiadaban Pemerintahan Jokowi

PERINGATAN : Tulisan ini bukan kajian ilmiah yang tersusun rapi dengan kalimat akademik dan sajian data konkrit. Bukan juga berisi pujian untuk menyanjung junjunganmu. Jadi bagi Anda yang merasa pendukung fanatik Presiden Jokowi maupun paslon tertentu, sebaiknya Anda tidak perlu membaca tulisan yang isinya hanya “sumpah serapah” untuk idolamu itu. FILM dokumenter “Dirty Vote” tayang hari ini, Ahad, 11 Februari 2024 pukul 11.11 WIB di kanal YouTube Dirty Vote. Saya buru-buru mengunduh film tersebut, khawatir sewaktu-waktu bisa di-takedown. Ya, saya memang sangat pesimis dengan kebebasan berbicara/berekspresi di negeri yang katanya demokrasi ini. Pukul 20.00 WIB, film tersebut selesai saya tonton. Bergegas saya buka Microsoft Word yang ada di laptop untuk menuangkan segala emosi yang terangkum selama menyaksikan “Dirty Vote.” Film yang disutradarai Dandhy Laksono ini kembali berhasil membuat saya meneteskan air mata. Bisa dibilang, jejak air itu belum sepenuhnya kering saat tulisan

Tepung Seharga Nyawa Manusia

Alkisah, di sebuah kota suci nan subur Hidup manusia mulia yang diserang sekelompok penjahat bengis; tak berhati dan tak pula berakal Para penjahat itu bermodalkan kebodohan dan keserakahah Dengan besar kepala mereka melawan kebenaran  Lucunya, langkah kejahatan itu didukung oleh pamannya, Paman Sam Lalu ketika seluruh hati di dunia terketuk dan mengutuk, Paman Sam tiba-tiba berubah peran Ambil langkah "kemanusiaan" Pura-pura berbaik hati Bah, pandai kali aktingnya Kirim bantuan lewat udara Jatuhkan makanan dari langit pantai Gaza Warga setempat yang kelaparan berlarian menuju ke situ Ternyata itu bukan hanya tempat makanan tapi juga tempat pemakaman Tepung yang dijatuhkan Paman Sam, seharga 150 nyawa manusia Mereka meregang nyawa di atas peti makanan Belum sempat mereka merasa kenyang, darahnya sudah lebih dulu terkuras Peti bantuan itu mendadak berubah warna Menjadi merah Semerah darah para syuhada Wanginya semerbak menembus layar handphone di gengaman umat manusia Aromanya

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba