Langsung ke konten utama

OMNIBUS LAW, HARUSKAH KITA TURUN KE JALAN??




Akhir-akhir ini, kita mulai ramai mempersoalkan Omnibus Law yang menjadi salah satu ide Presiden RI, Joko Widodo yang diucapkan saat pelantikannya pada tanggal 20 Oktober 2019 lalu. Sebagai masyarakat, kita tidak bisa menutup mata dengan hal-hal seperti ini. Apalagi ini sangat berpengaruh dalam kehidupan kita sebagai masyarakat Indonesia.

Saat ini, sudah banyak mahasiswa dan buruh yang berbondong-bondong turun ke jalan untuk berdemo. Saya tidak menyalahkan orang-orang yang turun ke jalan, tapi akan menjadi salah apabila kita berdemo tanpa tahu apa yang sedang kita perjuangan. Untuk itu, ada baiknya kita pahami dahulu apa itu Omnibus Law. Menguntungkan atau merugikan masyarakat? Check it out!!

Menurut Wikipedia, undang-undang Omnibus Law atau undang-undang sapu jagat adalah istilah untuk menyebut suatu undang-undang yang bersentuhan dengan berbagai macam topik dan dimaksudkan untuk mengamandemen, memangkas dan/atau mencabut sejumlah undang-undang lain.

Secara harfiah, definisi omnibus law adalah hukum untuk semua. Istilah ini berasal dari bahasa latin,
yakni omnis yang berarti ‘untuk semua’ atau ‘banyak’.

Bryan A Garner, dalam Black Law Dictionary Ninth Edition menyebutkan: 
“Omnibus: relating to or dealing with numerous objects or items at once; including many things or having various purposes”.
Artinya omnibus law berkaitan atau berurusan dengan berbagai objek sekaligus, dan memiliki berbagai tujuan. Jadi, skema regulasi yang sudah dikenal sejak 1840 ini, merupakan aturan yang bersifat menyeluruh dan komprehensif, tidak terikat pada satu rezim pengaturan saja.

Bisa disimpulkan bahwa Omnibus Law adalah UU yang memuat beragam substansi aturan yang keberadaannya mengamandemen beberapa UU sekaligus.

Menurut pemerintah, ada 3 tujuan utama ditetapkannya Omnibus Law di Indonesia. Pertama, menghilangkan tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan yang dianggap sebagai penghambat proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Kedua, efisiensi proses perubahan/pencabutan peraturan perundang-undangan. Ketiga, menghilangkan ego sektoral yang terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Namun, yang menjadi pertanyaannya seberapa efektif Omnibus Law untuk menyelesaikan masalah regulasi tersebut. Untuk menjawab itu kita perlu melihat apa saja yang dicakup oleh Omnibus Law. Ada 3 hal yang akan menjadi fokus yaitu mengenai perpajakan, cipta lapangan kerja (cilaka), dan usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM).

Dari tiga fokus tersebut, Omnibus Law ini akan memudahkan investor masuk di Indonesia. Tentu masyarakat akan berpikir bagaimana nasib dan masa depannya jika memang benar beberapa peraturan perundang-undangan Omnibus Law disahkan.

Adanya Omnibus Law sekali lagi karena alasan tumpang tindih regulasi yang jumlahnya terlalu banyak. Akan tetapi, kita perlu cermati bersama bahwa pembuatan regulasi dan kebijakan harus murni karena kepentingan publik. 

Faktanya, Omnibus Law ini merupakan langkah untuk mempermudah masuknya investor untuk mengembangkan usahanya. Artinya secara tidak langsung akan lebih banyak menguntungkan kelompok investor dan para pengusaha. Kekhawatiran seperti inilah yang membuat masyarakat resah dengan ditetapkannya Omnibus Law di Indonesia.

Bagi pekerja/buruh, aturan ini merugikan karena: banyak hak buruh yang tercabut. Misalnya, dimudahkannya PHK, dihapuskannya cuti-cuti penting seperti cuti haid dan melahirkan, jumlah pesangon yang diturunkan, diperluasnya pekerjaan yang menggunakan sistem kontrak dan alih daya yang membuat mereka rentan diputus kontrak begitu saja, sampai tidak leluasa untuk berserikat karena merasa harus terus menerus bekerja agar mencapai target yang ditentukan oleh perusahaan.

Hal lain yang membuat pekerja/buruh keberatan dengan aturan ini adalah perubahan upah menjadi per jam yang membuat pekerja dilihat sebagai mesin produksi.

Jika diperhatikan baik-baik, sebenarnya terlihat sekali pengusaha dan investor lebih banyak diuntungkan dengan adanya aturan ini. Karena dari awal, peraturan ini ditujukan untuk membuat ekosistem usaha yang memberikan kenyamanan bagi investor, sehingga isi RUU ini sangat kental dengan kepentingan investor.
Hmmm... lagi-lagi masyarakat menengah ke bawah yang dikorbankan ya...

Omnibus Law memang bukanlah hal yang baru. Konsep ini umumnya muncul di negara-negara yang menganut sistem Common Law seperti Amerika. Sistem Common Law ialah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurispudensi. Sumber hukum dalam sistem hukum ini ialah putusan hakim/pengadilan. Sehingga dalam penerapan Omnibus Law, masyarakat mereka tidak merasa dirugikan. Karena sumber hukum yang digunakan berasal dari tradisi atau kebiasaan yang berkembang di masyarakat yang kemudian digunakan hakim untuk menyelesaikan suatu kasus. 

Sangat berbeda dengan negara kita yang menganut sistem Civil Law, dimana semua sistem hukum bersumber pada undang-undang. Sehingga apabila Omnibus Law diterapkan, pengusaha bisa berkelit dari banyak aturan tanpa harus takut dipidanakan. Karena dalam RUU ini, pekerja tidak lagi bisa melaporkan perusahaan dengan delik pidana karena sanksi yang diatur di sini hanya sanksi administratif. Wow.. sangat menguntungkan pengusaha ya..

Nah, dari sistem negaranya saja sudah sangat berbeda. Tentu menjadi sulit untuk menerapkan Omnibus Law secara efektif di Indonesia.

Belum lagi, dalam draf RUU Omnibus Law ini banyak pasal-pasal—yang demi mengakomodasi kemudahan menciptakan usaha, diperbolehkan mengabaikan isu lingkungan, sosial, dan budaya. Pasal-pasal Omnibus Law juga secara terang-terangan mengakomodasi kepentingan pelaku usaha tambang mineral dan batu bara sektor yang menyumbang paling banyak kerusakan lingkungan.
Hahaha, kurang bar-bar apalagi coba pemerintah kita :D

Sampai sini, saya rasa jelas bahwa Omnibus Law merugikan kaum pekerja/buruh. Ditambah lagi jika banyak investor masuk tetapi tidak disertai dengan terbukanya lapangan kerja untung WNI. Hal ini malah menimbulkan masalah baru, yakni semakin meningkatnya angka pengangguran di Indonesia.

Tulisan ini adalah pandangan saya sebagai salah satu warga negara Indonesia. Para pembaca bisa menyetujui, bisa juga tidak. Yang terpenting adalah setuju atau tidaknya teman-teman tentang Omnibus Law ini harus didasari landasan yang jelas dan tentunya demi kepentingan rakyat Indonesia.

#PanjangUmurPerjuangan
#TolakOmnibusLaw
#TolakRUUNgawur
#HidupMahasiswa
#HidupBuruh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film “Dirty Vote,” Bukti Kebiadaban Pemerintahan Jokowi

PERINGATAN : Tulisan ini bukan kajian ilmiah yang tersusun rapi dengan kalimat akademik dan sajian data konkrit. Bukan juga berisi pujian untuk menyanjung junjunganmu. Jadi bagi Anda yang merasa pendukung fanatik Presiden Jokowi maupun paslon tertentu, sebaiknya Anda tidak perlu membaca tulisan yang isinya hanya “sumpah serapah” untuk idolamu itu. FILM dokumenter “Dirty Vote” tayang hari ini, Ahad, 11 Februari 2024 pukul 11.11 WIB di kanal YouTube Dirty Vote. Saya buru-buru mengunduh film tersebut, khawatir sewaktu-waktu bisa di-takedown. Ya, saya memang sangat pesimis dengan kebebasan berbicara/berekspresi di negeri yang katanya demokrasi ini. Pukul 20.00 WIB, film tersebut selesai saya tonton. Bergegas saya buka Microsoft Word yang ada di laptop untuk menuangkan segala emosi yang terangkum selama menyaksikan “Dirty Vote.” Film yang disutradarai Dandhy Laksono ini kembali berhasil membuat saya meneteskan air mata. Bisa dibilang, jejak air itu belum sepenuhnya kering saat tulisan

Tepung Seharga Nyawa Manusia

Alkisah, di sebuah kota suci nan subur Hidup manusia mulia yang diserang sekelompok penjahat bengis; tak berhati dan tak pula berakal Para penjahat itu bermodalkan kebodohan dan keserakahah Dengan besar kepala mereka melawan kebenaran  Lucunya, langkah kejahatan itu didukung oleh pamannya, Paman Sam Lalu ketika seluruh hati di dunia terketuk dan mengutuk, Paman Sam tiba-tiba berubah peran Ambil langkah "kemanusiaan" Pura-pura berbaik hati Bah, pandai kali aktingnya Kirim bantuan lewat udara Jatuhkan makanan dari langit pantai Gaza Warga setempat yang kelaparan berlarian menuju ke situ Ternyata itu bukan hanya tempat makanan tapi juga tempat pemakaman Tepung yang dijatuhkan Paman Sam, seharga 150 nyawa manusia Mereka meregang nyawa di atas peti makanan Belum sempat mereka merasa kenyang, darahnya sudah lebih dulu terkuras Peti bantuan itu mendadak berubah warna Menjadi merah Semerah darah para syuhada Wanginya semerbak menembus layar handphone di gengaman umat manusia Aromanya

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba