Langsung ke konten utama

J A K A R T A


  https://goo.gl/images/2V28aK


Hari ini saya ingin sedikit mengisahkan tentang kota metropolitan yang sejak lama telah menjabat menjadi ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Langsung saja, sebenarnya saya merasa prihatin. Bagaimana tidak? Ketika gedung-gedung dengan angkuh menjulang, disaat yang sama bocah-bocah usia sekolah menjadi anak jalanan yang tak tahu apa itu alfabet.

Saya berpikir, apa yang dikatakan seorang ayah yang sejak pagi naik turun bis sembari membawa gitar mengumpulkan koin-koin penyambung hidup lalu kembali ke rumah ketika mentari pamit?

Apa yang ia katakan kepada istri dan anaknya ketika rupiah yang ia dapat selama sehari tak cukup ditukar dengan beras sekilo?

Padahal di gedung bertingkat, yang berdasi sedang asik berpesta. Mungkin benar sebuah ungkapkan yang mengatakan "Sekejam-kejamnya ibu tiri, masih lebih kejam ibukota".

Saya tidak menyalahkan pemerintah, apalagi mengkambinghitamkan politik. Oh, tidak. Sebab saya bukan politisi wanita yang lulus dengan gelar sarjana dan IPK 4,00. Tulisan ini hanyalah pendapat dari penilaian di depan kacamata seorang mahasiswi semester dini.
Oke, hal ini bukan benang merahnya.

Jakarta. Menggusur rumah-rumah demi perluasan jalan yang sebenarnya sudah luas dengan dalih meminimalisir kemacetan.

Logikanya disini, ketika setiap individu ingin menampakkan semua yang ia miliki di depan publik, maka kemacetan tidak akan berkurang meski mengorbankan beribu-ribu rumah lagi.

Tak ingin memakai kendaraan umum karena enggan mengantri dan berdesak-desakan pertanda bahwa rasa kemanusiaan pada dirinya telah wafat.

Bukankah manusia makluk sosial?? Jika tak ingin bersosialisasi pantaskah disebut manusia?? Jawab saja dalam hati. Saya tak ingin menjawabnya di sini.

Tunggu dulu, kali ini saya juga tidak menyudutkan masyarakat, sebab saya juga masyarakat. Ya tadi, ini hanya argumentasi yang saya dapat dari kacamata saya dan semoga kacamata saya masih berguna, tidak rabun atau retak misalnya.

Saya kembali merenungkan. Rakyat yang hidup di depan gedung istana negara saja belum terjamin, lalu apa kabar daerah di luar pulau Jawa. Dimana anak-anak disana mungkin tak memiliki mimpi untuk hadir di Jakarta. Ya mungkin karena itu adalah mimpi yang terlalu muluk bagi anak-anak yang ke sekolah bertelanjang kaki.

Kelanjutan Indonesia ke depan ada di tangan pemuda. Dan saya salah satu dari pemuda itu. Jadi tidak sinkron jika saya hanya berkomentar di sini. Maka saya pun harus menyiapkan diri untuk menjadi kader pemuda yang mampu membawa Indonesia menuju jaya. Doakan !! 😃 Ini bukan kampanye ya.. 😂

Bogor, Desember 2018 (Ar-ina Guhir)

Komentar

  1. Salut atas perhatian Ina pada lingkungan sosial di sekitar.... sukses selalu ya

    BalasHapus
  2. Terima kasih bnyk atas dukungannya :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film “Dirty Vote,” Bukti Kebiadaban Pemerintahan Jokowi

PERINGATAN : Tulisan ini bukan kajian ilmiah yang tersusun rapi dengan kalimat akademik dan sajian data konkrit. Bukan juga berisi pujian untuk menyanjung junjunganmu. Jadi bagi Anda yang merasa pendukung fanatik Presiden Jokowi maupun paslon tertentu, sebaiknya Anda tidak perlu membaca tulisan yang isinya hanya “sumpah serapah” untuk idolamu itu. FILM dokumenter “Dirty Vote” tayang hari ini, Ahad, 11 Februari 2024 pukul 11.11 WIB di kanal YouTube Dirty Vote. Saya buru-buru mengunduh film tersebut, khawatir sewaktu-waktu bisa di-takedown. Ya, saya memang sangat pesimis dengan kebebasan berbicara/berekspresi di negeri yang katanya demokrasi ini. Pukul 20.00 WIB, film tersebut selesai saya tonton. Bergegas saya buka Microsoft Word yang ada di laptop untuk menuangkan segala emosi yang terangkum selama menyaksikan “Dirty Vote.” Film yang disutradarai Dandhy Laksono ini kembali berhasil membuat saya meneteskan air mata. Bisa dibilang, jejak air itu belum sepenuhnya kering saat tulisan

Tepung Seharga Nyawa Manusia

Alkisah, di sebuah kota suci nan subur Hidup manusia mulia yang diserang sekelompok penjahat bengis; tak berhati dan tak pula berakal Para penjahat itu bermodalkan kebodohan dan keserakahah Dengan besar kepala mereka melawan kebenaran  Lucunya, langkah kejahatan itu didukung oleh pamannya, Paman Sam Lalu ketika seluruh hati di dunia terketuk dan mengutuk, Paman Sam tiba-tiba berubah peran Ambil langkah "kemanusiaan" Pura-pura berbaik hati Bah, pandai kali aktingnya Kirim bantuan lewat udara Jatuhkan makanan dari langit pantai Gaza Warga setempat yang kelaparan berlarian menuju ke situ Ternyata itu bukan hanya tempat makanan tapi juga tempat pemakaman Tepung yang dijatuhkan Paman Sam, seharga 150 nyawa manusia Mereka meregang nyawa di atas peti makanan Belum sempat mereka merasa kenyang, darahnya sudah lebih dulu terkuras Peti bantuan itu mendadak berubah warna Menjadi merah Semerah darah para syuhada Wanginya semerbak menembus layar handphone di gengaman umat manusia Aromanya

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba