Hari ini saya ingin sedikit mengisahkan tentang kota metropolitan yang sejak lama telah menjabat menjadi ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Langsung saja, sebenarnya saya merasa prihatin. Bagaimana tidak? Ketika gedung-gedung dengan angkuh menjulang, disaat yang sama bocah-bocah usia sekolah menjadi anak jalanan yang tak tahu apa itu alfabet.
Saya berpikir, apa yang dikatakan seorang ayah yang sejak pagi naik turun bis sembari membawa gitar mengumpulkan koin-koin penyambung hidup lalu kembali ke rumah ketika mentari pamit?
Apa yang ia katakan kepada istri dan anaknya ketika rupiah yang ia dapat selama sehari tak cukup ditukar dengan beras sekilo?
Padahal di gedung bertingkat, yang berdasi sedang asik berpesta.
Mungkin benar sebuah ungkapkan yang mengatakan "Sekejam-kejamnya ibu tiri, masih lebih kejam ibukota".
Saya tidak menyalahkan pemerintah, apalagi mengkambinghitamkan politik. Oh, tidak. Sebab saya bukan politisi wanita yang lulus dengan gelar sarjana dan IPK 4,00. Tulisan ini hanyalah pendapat dari penilaian di depan kacamata seorang mahasiswi semester dini.
Saya tidak menyalahkan pemerintah, apalagi mengkambinghitamkan politik. Oh, tidak. Sebab saya bukan politisi wanita yang lulus dengan gelar sarjana dan IPK 4,00. Tulisan ini hanyalah pendapat dari penilaian di depan kacamata seorang mahasiswi semester dini.
Oke, hal ini bukan benang merahnya.
Jakarta. Menggusur rumah-rumah demi perluasan jalan yang sebenarnya sudah luas dengan dalih meminimalisir kemacetan.
Jakarta. Menggusur rumah-rumah demi perluasan jalan yang sebenarnya sudah luas dengan dalih meminimalisir kemacetan.
Logikanya disini, ketika setiap individu ingin menampakkan semua yang ia miliki di depan publik, maka kemacetan tidak akan berkurang meski mengorbankan beribu-ribu rumah lagi.
Tak ingin memakai kendaraan umum karena enggan mengantri dan berdesak-desakan pertanda bahwa rasa kemanusiaan pada dirinya telah wafat.
Bukankah manusia makluk sosial?? Jika tak ingin bersosialisasi pantaskah disebut manusia?? Jawab saja dalam hati. Saya tak ingin menjawabnya di sini.
Tunggu dulu, kali ini saya juga tidak menyudutkan masyarakat, sebab saya juga masyarakat. Ya tadi, ini hanya argumentasi yang saya dapat dari kacamata saya dan semoga kacamata saya masih berguna, tidak rabun atau retak misalnya.
Tunggu dulu, kali ini saya juga tidak menyudutkan masyarakat, sebab saya juga masyarakat. Ya tadi, ini hanya argumentasi yang saya dapat dari kacamata saya dan semoga kacamata saya masih berguna, tidak rabun atau retak misalnya.
Saya kembali merenungkan. Rakyat yang hidup di depan gedung istana negara saja belum terjamin, lalu apa kabar daerah di luar pulau Jawa. Dimana anak-anak disana mungkin tak memiliki mimpi untuk hadir di Jakarta. Ya mungkin karena itu adalah mimpi yang terlalu muluk bagi anak-anak yang ke sekolah bertelanjang kaki.
Kelanjutan Indonesia ke depan ada di tangan pemuda. Dan saya salah satu dari pemuda itu. Jadi tidak sinkron jika saya hanya berkomentar di sini. Maka saya pun harus menyiapkan diri untuk menjadi kader pemuda yang mampu membawa Indonesia menuju jaya. Doakan !! 😃 Ini bukan kampanye ya.. 😂
Bogor, Desember 2018 (Ar-ina Guhir)
Kelanjutan Indonesia ke depan ada di tangan pemuda. Dan saya salah satu dari pemuda itu. Jadi tidak sinkron jika saya hanya berkomentar di sini. Maka saya pun harus menyiapkan diri untuk menjadi kader pemuda yang mampu membawa Indonesia menuju jaya. Doakan !! 😃 Ini bukan kampanye ya.. 😂
Bogor, Desember 2018 (Ar-ina Guhir)
Salut atas perhatian Ina pada lingkungan sosial di sekitar.... sukses selalu ya
BalasHapusTerima kasih bnyk atas dukungannya :)
BalasHapus