Langsung ke konten utama

Postingan

Berat Nian Menjadi WNI

Bara api menyala di lubuk umat manusia yang lahir di bumi Pertiwi Kaki-kaki berlari laju memenuhi jalanan sebab keadilan tak hinggap ke dapur mereka Ada amarah di setiap derap langkah dan degup nadi  Memaki nasib hidup di Republik Ilusi Perih mataku menangkis kabut pedih yang keluar dari senjata kekuasaan Setelah itu, saudaraku mati dilindas rantis Aku melihat arogansi pejabat menari dengan riang di gedung mewah yang dibangun oleh keringat jelata  Musik mengalun merdu mengelus mesra tubuh yang dibalut lambang borjuis Tak kutemukan tumpukan buku ala Bung Hatta di rumah-rumah para tuan yang katanya mewakili aku Rupanya tak butuh arif nan cerdas untuk membuat Undang-Undang di meja parlemen Hanya cukup culas dan tak tahu malu Tak kudengar susunan tutur kata khas makhluk bermoral yang keluar dari bibir mereka Sebab anggota dewan negeri ini ternyata lebih jago beronani ketimbang berorasi Presiden yang menang karena mahir bergoyang kini muncul di linimasa lewat akun pasangan artis be...
Postingan terbaru

Aksara yang Berdarah

Tuan... Bukankah di ujung suara itu, pernah kau ikrarkan sebuah kata biru yang memekarkan benih harap? Mungkin terburu-buru aku meyakini tak sadar jika yang membumbung bisa menguap begitu saja Jika benar rasamu seluas samudera, mengapa begitu sunyi derap langkah melaju menuju aku? Tak kuasa aku menahan lara di tengah gugup jantung yang baru kemarin merona Bisa-bisanya kau patahkan hati hingga berserak di muka alas Tuan... Setelah kubukakan pintu, lantas apa? Kau bawa sebilah pedang berbisa Meski telah kukatakan, penawarnya tersaji  Tapi dalamnya sayatan tetap berdarah memerahkan putih kanvas yang baru ingin kutuangkan warna hijau  Aku termangu saat asmamu tak lagi mampir bercerita Terpaksa aku berkilah soal dada yang sesak  Sebab tak ada yang tahu, aku lemah di kerling matamu Kudengarkan ulang melodi dari bibirmu yang kurekam diam-diam  Entah untuk siapa lagi akan kau lantunkan  Tapi di detik itu, aku pernah terbius Harus kusebut kau kejam, Tuan Menghunus lalu b...

Aku adalah Api

Aku adalah api di lumbung yang basah, susah payah menahan kobar di tengah lembab Aku menjelma menjadi jemari yang berisik, mencaci kebiadaban di sela bisu mulut para raja yang bersantai di singgasana Aku adalah cinta yang penuh sabda, menguasai nurani, berteriak hingga serak meski kuping mereka tertutup kepentingan duniawi Botol berisi gandum itu kutitipkan pada gelombang, hingga sampai ke tepi pantai Gaza sebab Rafah telah beralih menjadi jeruji yang mengurung saudaraku hingga mati Aku melihat pemimpin Permata Sungai Nil bersulang dengan entitas kolonial, lantas bersalaman dengan patuh sejak itu, sayap dan cakarnya patah lunglai Tapi aku tetap menjadi pena, menggurat napas perlawanan di gaduhnya kontroversi retorika busuk pemimpin dunia "Two State Solution," kata mereka lelucon kedaluarsa yang dirangkai dengan dalih keadilan  keadilan yang mana? jika pribumi dipaksa bersanding dengan para pembunuh  "Demi Perdamaian," kata mereka lembar kecaman diberikan pada media,...

Pekan Kesepuluh Berteriak di Depan Kedubes AS

Foto: Dokumentasi AWG "Allahu Akbar, Al Aqsa Haqquna," kalimat itu berulang kali terdengar. Genap memasuki pekan kesepuluh, orang-orang ini berteriak lantang di depan Kedubes Amerika Serikat, Jakarta setiap hari Jumat. Sebuah kegiatan yang bagi sebagian orang, tak berguna. Jumlahnya tak menentu, bisa puluhan, kadang hanya belasan. Ada anak-anak, bapak-bapak, hingga ibu-ibu. Dengan menggenggam bendera Palestina, mereka melantunkan doa untuk sebuah bangsa yang dijajah. Tidak lupa kutukan demi kutukan dikirimkan kepada para pelaku genosida. Sepuluh pekan meneriakkan hal yang sama. Sepuluh pekan, setiap Jumat sore berdiri di depan gedung tinggi yang mewakili Si Pembunuh Berdarah Dingin. Sepuluh pekan, orang-orang ini datang melulu, dengan wajah yang kebanyakan itu-itu saja. Demi apa? Demi siapa? Mungkin jawabannya hanya satu; Demi Cinta. Bagaimana cinta menjadi pondasi terkuat sebuah tindakan dilakukan. Kita melihat Taj Mahal, Boldt Castles, dan Prambanan bisa berdiri karena cint...

Yang Berharga, Hiduplah Lebih Lama

Satu hal yang pasti bahwa mereka tidak lagi muda. Sebagian besar warna rambutnya sudah tak hitam, kerutan di tangan dan wajahnya kian tampak, beberapa gigi pun telah tanggal. Sudah lebih dari separuh abad, hidupnya di muka bumi. Kenyataan ini membuatku terisak, meski tanpa suara.  Aku berada jauh. Menyeberangi lautan dan udara. Baktiku tentu hanya setitik dibandingkan embusan perjuangan dan kasihnya. Fakta ini, membuat genangan di mataku sering tumpah, meski lagi-lagi tanpa suara. Perempuan itu begitu lembut tapi juga tegas. Aku dan dirinya sering kali beradu. Maklum, egoku yang teramat kental susah sekali dicairkan. Tapi doa-doanya adalah payung atas segala badai. Hidupku adalah berkat dari sujud panjangnya dan rapalan kalimat yang ia tuangkan merayu Sang Tuhan.  Sementara itu, seorang pria gagah dengan tangan lebar dan sedikit kasar. Telapak kakinya pun demikian. Tapi dari tangan dan kaki itulah aku tumbuh dan berdikari; menjadi kaktus di tengah gersang, menjadi api di tenga...

Lama Tak Menyapa, Mari Bercerita

Hari ini, aku baik-baik saja. Seperti halnya dirimu. Meski tidak tahu, kalimat itu jujur atau bukan. Ya, paling tidak kita masih mahir bermain peran. Januari sibuk sekali rupanya. Belum apa-apa, berbagai jenis pernyataan dan pertanyaan sudah datang meski tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Agak sedikit tidak sopan, tapi apalah daya. Kita tetap harus tersenyum, kan? Masih hujan, meski sesekali. Aroma tanah basah pun masih tercium apabila hujan turun tanpa mendung. Aku suka, karena hujan membuatku lebih banyak waktu bermesra dengan kasur kesayanganku. Kasurku memang agak posesif.  Tahun lalu, sedikit sekali jemariku membuka lembaran buku. Beberapa sampul tampak berdebu tersebab jarang disentuh. Imbasnya, otakku seperti mati suri. Kata-kata seakan kemarau. Lalu seseorang bercerita, "Saya menghabiskan minimal 1 jam setiap hari untuk membaca buku." Duh, iri! Orang bilang, manusia berkacamata selalu dekat dengan buku dan identik berwawasan luas. Sepertinya, aku telah merusak streotipe...

Silakan Masuk, Tuan!

  Di khatamnya mentari kala itu Jemari manismu mengetik sebuah nama Hari-hari setelah itu berwarna jingga Meski mendung di ufuk barat membawa rintik hujan Nada tutur dan tarikan napasmu di ujung telinga Menyatu dengan hawa surgawi Hampir aku terbuai Sigap kubenahi posisi relung di pusat jasadku Agar tanda bahaya tak padam begitu mudah Bulan dan bintang adalah penjaga dari tiap binaran kata-kata Sayup kurekam dengan saksama, memastikan bukti terangkum jika demensia datang melanda Ada desiran tawa, merekah di antara jeda sautan warita Cakap angin atau khidmat begitu tipis dibedakan Siapakah yang kalah Tuan jika aku yang tersenyum duluan? Pagar pikirku sulit memang dilompati Tapi jenjang kakimu lebih sanggup melangkahi Lantas di sebelah mana kau sembunyikan bilah pedang? Aku telah membawa penawarnya Silakan masuk, Tuan! Cileungsi, 2024