Foto: Dokumentasi AWG "Allahu Akbar, Al Aqsa Haqquna," kalimat itu berulang kali terdengar. Genap memasuki pekan kesepuluh, orang-orang ini berteriak lantang di depan Kedubes Amerika Serikat, Jakarta setiap hari Jumat. Sebuah kegiatan yang bagi sebagian orang, tak berguna. Jumlahnya tak menentu, bisa puluhan, kadang hanya belasan. Ada anak-anak, bapak-bapak, hingga ibu-ibu. Dengan menggenggam bendera Palestina, mereka melantunkan doa untuk sebuah bangsa yang dijajah. Tidak lupa kutukan demi kutukan dikirimkan kepada para pelaku genosida. Sepuluh pekan meneriakkan hal yang sama. Sepuluh pekan, setiap Jumat sore berdiri di depan gedung tinggi yang mewakili Si Pembunuh Berdarah Dingin. Sepuluh pekan, orang-orang ini datang melulu, dengan wajah yang kebanyakan itu-itu saja. Demi apa? Demi siapa? Mungkin jawabannya hanya satu; Demi Cinta. Bagaimana cinta menjadi pondasi terkuat sebuah tindakan dilakukan. Kita melihat Taj Mahal, Boldt Castles, dan Prambanan bisa berdiri karena cint...
Satu hal yang pasti bahwa mereka tidak lagi muda. Sebagian besar warna rambutnya sudah tak hitam, kerutan di tangan dan wajahnya kian tampak, beberapa gigi pun telah tanggal. Sudah lebih dari separuh abad, hidupnya di muka bumi. Kenyataan ini membuatku terisak, meski tanpa suara. Aku berada jauh. Menyeberangi lautan dan udara. Baktiku tentu hanya setitik dibandingkan embusan perjuangan dan kasihnya. Fakta ini, membuat genangan di mataku sering tumpah, meski lagi-lagi tanpa suara. Perempuan itu begitu lembut tapi juga tegas. Aku dan dirinya sering kali beradu. Maklum, egoku yang teramat kental susah sekali dicairkan. Tapi doa-doanya adalah payung atas segala badai. Hidupku adalah berkat dari sujud panjangnya dan rapalan kalimat yang ia tuangkan merayu Sang Tuhan. Sementara itu, seorang pria gagah dengan tangan lebar dan sedikit kasar. Telapak kakinya pun demikian. Tapi dari tangan dan kaki itulah aku tumbuh dan berdikari; menjadi kaktus di tengah gersang, menjadi api di tenga...