Bara api menyala di lubuk umat manusia yang lahir di bumi Pertiwi Kaki-kaki berlari laju memenuhi jalanan sebab keadilan tak hinggap ke dapur mereka Ada amarah di setiap derap langkah dan degup nadi Memaki nasib hidup di Republik Ilusi Perih mataku menangkis kabut pedih yang keluar dari senjata kekuasaan Setelah itu, saudaraku mati dilindas rantis Aku melihat arogansi pejabat menari dengan riang di gedung mewah yang dibangun oleh keringat jelata Musik mengalun merdu mengelus mesra tubuh yang dibalut lambang borjuis Tak kutemukan tumpukan buku ala Bung Hatta di rumah-rumah para tuan yang katanya mewakili aku Rupanya tak butuh arif nan cerdas untuk membuat Undang-Undang di meja parlemen Hanya cukup culas dan tak tahu malu Tak kudengar susunan tutur kata khas makhluk bermoral yang keluar dari bibir mereka Sebab anggota dewan negeri ini ternyata lebih jago beronani ketimbang berorasi Presiden yang menang karena mahir bergoyang kini muncul di linimasa lewat akun pasangan artis be...
Tuan... Bukankah di ujung suara itu, pernah kau ikrarkan sebuah kata biru yang memekarkan benih harap? Mungkin terburu-buru aku meyakini tak sadar jika yang membumbung bisa menguap begitu saja Jika benar rasamu seluas samudera, mengapa begitu sunyi derap langkah melaju menuju aku? Tak kuasa aku menahan lara di tengah gugup jantung yang baru kemarin merona Bisa-bisanya kau patahkan hati hingga berserak di muka alas Tuan... Setelah kubukakan pintu, lantas apa? Kau bawa sebilah pedang berbisa Meski telah kukatakan, penawarnya tersaji Tapi dalamnya sayatan tetap berdarah memerahkan putih kanvas yang baru ingin kutuangkan warna hijau Aku termangu saat asmamu tak lagi mampir bercerita Terpaksa aku berkilah soal dada yang sesak Sebab tak ada yang tahu, aku lemah di kerling matamu Kudengarkan ulang melodi dari bibirmu yang kurekam diam-diam Entah untuk siapa lagi akan kau lantunkan Tapi di detik itu, aku pernah terbius Harus kusebut kau kejam, Tuan Menghunus lalu b...