Seorang anak kecil bertubuh kering, mengisap ibu jarinya yang memutih Di simpang jalan lelaki renta terbaring menahan dahaga dan lapar yang melilit Ibu kehilangan asi, bayi mungil terpaksa tak menyusu Gaza, tanah para syuhada itu membeli sorga dengan rasa lapar Gaza, darah tumpah ruah Seorang bapak menggendong balita tak berkepala Entah di mana kepala itu terguling Sementara Zionis berdiri di puncak keangkuhan Tertawa dengan binal sembari menuang anggur kemunafikan Kumpulan setan itu merayakan kematian manusia-manusia suci Mereka lupa, kehancuran dan neraka begitu dekat padanya Gaza, tubuh terbakar dilalap api Hangus dalam kobaran keji Zionis Tenda-tenda itu rubuh Asap hitam menjadi payung jasad-jasad yang berkerut tak berbentuk Dialog internasional digelar Kecaman demi kecaman, kami muak mendengarnya ICJ, ICC, PBB adakah gunanya? Tumpukan resolusi lahir di atas meja "Gencatan senjata" kata mereka Mana? Aku tak melihat senjata diletakkan Gaza, wajahmu nanar dihantam rudal K
ADA satu kalimat yang begitu risih saya dengar, "Perempuan selalu benar" atau "Perempuan tidak pernah salah." Sayangnya, kalimat ini pun kerap kali diamini oleh sebagian perempuan. Padahal kalimat ini menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang cacat logika sehingga tidak bisa membedakan mana benar, mana salah. Pernyataan "Perempuan selalu benar" awalnya muncul dari mulut laki-laki yang kalah berdebat karena kesulitan mencari pembelaan diri. Dalam posisi terdesak, ego laki-laki itu kemudian mengeluarkan kalimat tersebut sebagai bentuk defensif. Ada sebuah teori menarik dalam film Kill The Messenger, "Bila tak mampu membantah substansi persoalan, maka bunuhlah karakter sang pembawa pesan." Ya, kalimat "Perempuan selalu benar" dan "Perempuan tidak pernah salah" menjadi serangan dadakan dari laki-laki yang merasa terpojok karena tak bisa berargumen, mereka kemudian menjadikan kalimat ini untuk "membunuh" perempuan. B