Langsung ke konten utama

Lama Tak Menyapa, Mari Bercerita

Hari ini, aku baik-baik saja. Seperti halnya dirimu. Meski tidak tahu, kalimat itu jujur atau bukan. Ya, paling tidak kita masih mahir bermain peran.

Januari sibuk sekali rupanya. Belum apa-apa, berbagai jenis pernyataan dan pertanyaan sudah datang meski tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Agak sedikit tidak sopan, tapi apalah daya. Kita tetap harus tersenyum, kan?

Masih hujan, meski sesekali. Aroma tanah basah pun masih tercium apabila hujan turun tanpa mendung. Aku suka, karena hujan membuatku lebih banyak waktu bermesra dengan kasur kesayanganku. Kasurku memang agak posesif. 

Tahun lalu, sedikit sekali jemariku membuka lembaran buku. Beberapa sampul tampak berdebu tersebab jarang disentuh. Imbasnya, otakku seperti mati suri. Kata-kata seakan kemarau. Lalu seseorang bercerita, "Saya menghabiskan minimal 1 jam setiap hari untuk membaca buku." Duh, iri!

Orang bilang, manusia berkacamata selalu dekat dengan buku dan identik berwawasan luas. Sepertinya, aku telah merusak streotipe itu. Tapi sungguh, kuupayakan menjadi perempuan cerdas itu; khas dengan kacamata dan hidung yang tak begitu runcing.

Pukul 00.07, waktu yang seharusnya sudah digunakan untuk mendengkur. Tapi lagi-lagi, aku menjadi bagian dari orang-orang yang suka menikmati malam meski di bawah remang cahaya lampu serta bising suara kipas angin. Biasa, kontrakan murahan memang tak ber-ac. 

Selimut tipis itu menutupi sebagian kakiku, sementara jari tanganku masih asik mengetik di atas note ponsel. Hari ini, beberapa tugas terlewat. Meski demikian, beberapa lainnya dikerjakan sebagaimana mestinya.

Aku tidak suka menganggur, tapi aku pun rajin mengeluh ketika sibuk. Ya, wajarlah ya. Manusia boy, bukan nabi. 

Semoga tahun 2025 ini segala keburukan dalam diri segera enyah dan banyak hal baik menghampiri. Yuk, bersiap!

Komentar

  1. Mari kita segera bergegas di tahun ini untuk masadepan emas bukan cemas

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenun Kwatek, Karya Tangan Perempuan Adonara

   Kwatek Adonara saat dikenakan Penulis SUDAH tidak asing lagi jika kita mengetahui bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kain tradisional. Begitu pula di Pulau Adonara. Pulau ini menjadi salah satu daerah yang memiliki kain tenun sebagai kain tradisionalnya. Pulau Adonara sendiri terletak di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat Adonara, tenun ini dipakai dalam berbagai acara seperti upacara adat, pernikahan, pemakaman, dan hari-hari besar lainnya, baik hari besar nasional ataupun hari besar agama. Selain itu, kain tenun ini juga dikenakan sehari-hari oleh masyarakat Adonara dan dijadikan cendramata bagi wisatawan yang berkunjung ke sana.  Tenun Adonara memiliki tiga motif, pertama motif dengan warna-warni bergaris lurus lebar merupakan kain Kewatek (berbentuk seperti sarung), yang kedua motif dengan warna yang monoton serta bergaris lurus kecil-kecil adalah Nowing (berbentuk seperti sarung) dan yang ketiga motif berwarna dan bergaris lurus a...

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba...

Yang Berharga, Hiduplah Lebih Lama

Satu hal yang pasti bahwa mereka tidak lagi muda. Sebagian besar warna rambutnya sudah tak hitam, kerutan di tangan dan wajahnya kian tampak, beberapa gigi pun telah tanggal. Sudah lebih dari separuh abad, hidupnya di muka bumi. Kenyataan ini membuatku terisak, meski tanpa suara.  Aku berada jauh. Menyeberangi lautan dan udara. Baktiku tentu hanya setitik dibandingkan embusan perjuangan dan kasihnya. Fakta ini, membuat genangan di mataku sering tumpah, meski lagi-lagi tanpa suara. Perempuan itu begitu lembut tapi juga tegas. Aku dan dirinya sering kali beradu. Maklum, egoku yang teramat kental susah sekali dicairkan. Tapi doa-doanya adalah payung atas segala badai. Hidupku adalah berkat dari sujud panjangnya dan rapalan kalimat yang ia tuangkan merayu Sang Tuhan.  Sementara itu, seorang pria gagah dengan tangan lebar dan sedikit kasar. Telapak kakinya pun demikian. Tapi dari tangan dan kaki itulah aku tumbuh dan berdikari; menjadi kaktus di tengah gersang, menjadi api di tenga...