Langsung ke konten utama

Mereka Membeli Sorga Dengan Rasa Lapar

Seorang anak kecil bertubuh kering, mengisap ibu jarinya yang memutih

Di simpang jalan lelaki renta terbaring menahan dahaga dan lapar yang melilit

Ibu kehilangan asi, bayi mungil terpaksa tak menyusu


Gaza, tanah para syuhada itu membeli sorga dengan rasa lapar

Gaza, darah tumpah ruah

Seorang bapak menggendong balita tak berkepala

Entah di mana kepala itu terguling


Sementara Zionis berdiri di puncak keangkuhan

Tertawa dengan binal sembari menuang anggur kemunafikan

Kumpulan setan itu merayakan kematian manusia-manusia suci 

Mereka lupa, kehancuran dan neraka begitu dekat padanya


Gaza, tubuh terbakar dilalap api

Hangus dalam kobaran keji Zionis 

Tenda-tenda itu rubuh

Asap hitam menjadi payung jasad-jasad yang berkerut tak berbentuk


Dialog internasional digelar

Kecaman demi kecaman, kami muak mendengarnya

ICJ, ICC, PBB adakah gunanya?

Tumpukan resolusi lahir di atas meja

"Gencatan senjata" kata mereka

Mana?

Aku tak melihat senjata diletakkan


Gaza, wajahmu nanar dihantam rudal

Koyak diterjang amunisi Zionis

Malapetaka berkepanjangan 

Kelaparan menjadi hal yang lumrah


Gaza, tanah airmu begitu mahal

Hanya bisa dibeli dengan sorga


Tapi maaf Gaza...

Ketika pertunjukan aksi genosida Zionis dimainkan di panggung dunia

Kami masih berdebat soal boikot atau tidak 

Kami masih bertanya bukankah Palestina terlalu jauh untuk dibela?


Aku terbenam dalam permainan dunia

Mencintai nafsu begitu dahsyat

Lalai dalam deru dosa yang maha banyak


Aku melihat derita Gaza sambil menganga lewat layar handphone 

Tapi sayang, sedihku hanya sementara 

Nuraniku mati suri

Sementara Gaza, membeli sorga dengan rasa lapar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenun Kwatek, Karya Tangan Perempuan Adonara

   Kwatek Adonara saat dikenakan Penulis SUDAH tidak asing lagi jika kita mengetahui bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kain tradisional. Begitu pula di Pulau Adonara. Pulau ini menjadi salah satu daerah yang memiliki kain tenun sebagai kain tradisionalnya. Pulau Adonara sendiri terletak di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat Adonara, tenun ini dipakai dalam berbagai acara seperti upacara adat, pernikahan, pemakaman, dan hari-hari besar lainnya, baik hari besar nasional ataupun hari besar agama. Selain itu, kain tenun ini juga dikenakan sehari-hari oleh masyarakat Adonara dan dijadikan cendramata bagi wisatawan yang berkunjung ke sana.  Tenun Adonara memiliki tiga motif, pertama motif dengan warna-warni bergaris lurus lebar merupakan kain Kewatek (berbentuk seperti sarung), yang kedua motif dengan warna yang monoton serta bergaris lurus kecil-kecil adalah Nowing (berbentuk seperti sarung) dan yang ketiga motif berwarna dan bergaris lurus a...

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba...

Yang Berharga, Hiduplah Lebih Lama

Satu hal yang pasti bahwa mereka tidak lagi muda. Sebagian besar warna rambutnya sudah tak hitam, kerutan di tangan dan wajahnya kian tampak, beberapa gigi pun telah tanggal. Sudah lebih dari separuh abad, hidupnya di muka bumi. Kenyataan ini membuatku terisak, meski tanpa suara.  Aku berada jauh. Menyeberangi lautan dan udara. Baktiku tentu hanya setitik dibandingkan embusan perjuangan dan kasihnya. Fakta ini, membuat genangan di mataku sering tumpah, meski lagi-lagi tanpa suara. Perempuan itu begitu lembut tapi juga tegas. Aku dan dirinya sering kali beradu. Maklum, egoku yang teramat kental susah sekali dicairkan. Tapi doa-doanya adalah payung atas segala badai. Hidupku adalah berkat dari sujud panjangnya dan rapalan kalimat yang ia tuangkan merayu Sang Tuhan.  Sementara itu, seorang pria gagah dengan tangan lebar dan sedikit kasar. Telapak kakinya pun demikian. Tapi dari tangan dan kaki itulah aku tumbuh dan berdikari; menjadi kaktus di tengah gersang, menjadi api di tenga...