Langsung ke konten utama

Pekan Kesepuluh Berteriak di Depan Kedubes AS

Foto: Dokumentasi AWG


"Allahu Akbar, Al Aqsa Haqquna," kalimat itu berulang kali terdengar. Genap memasuki pekan kesepuluh, orang-orang ini berteriak lantang di depan Kedubes Amerika Serikat, Jakarta setiap hari Jumat. Sebuah kegiatan yang bagi sebagian orang, tak berguna.

Jumlahnya tak menentu, bisa puluhan, kadang hanya belasan. Ada anak-anak, bapak-bapak, hingga ibu-ibu. Dengan menggenggam bendera Palestina, mereka melantunkan doa untuk sebuah bangsa yang dijajah. Tidak lupa kutukan demi kutukan dikirimkan kepada para pelaku genosida.

Sepuluh pekan meneriakkan hal yang sama. Sepuluh pekan, setiap Jumat sore berdiri di depan gedung tinggi yang mewakili Si Pembunuh Berdarah Dingin. Sepuluh pekan, orang-orang ini datang melulu, dengan wajah yang kebanyakan itu-itu saja. Demi apa? Demi siapa?

Mungkin jawabannya hanya satu; Demi Cinta. Bagaimana cinta menjadi pondasi terkuat sebuah tindakan dilakukan. Kita melihat Taj Mahal, Boldt Castles, dan Prambanan bisa berdiri karena cinta. 

Barangkali cinta juga lah yang membuat orang-orang itu kembali datang setiap hari Jumat di tempat yang sama, membawa suara yang sama, untuk sebuah bangsa yang berada ribuan kilo meter dari Indonesia. 

Barangkali cinta juga lah yang membuat orang-orang itu rela berpayah-payah, berserak-serak, berpanas-panas berdiri setiap pekan menggaungkan pesan solidaritas untuk pembebasan Al Aqsa dan Palestina.

Sebagian besar kita hanya tahu dua nama ini— Palestina dan Al Aqsa— dari layar handphone maupun buku-buku. Belum pernah mata kita memotretnya secara langsung. Kita hanya mendengar, "Katanya, Katanya." Lantas panggilan apa yang mampu menggetarkan jiwa untuk konsisten berdiri di sana, selain cinta?

Pekan kesepuluh; atas dasar cinta pada Rabb dan sesama manusia, Aqsa Working Group berhasil menjadi motor sebuah aksi rutin di depan Kedubes AS. Ke-istiqomahan ini tidak mudah, sebab setiap niat mulia selalu menemukan duri dan onak. Tapi lagi-lagi, Aqsa Working Group selalu merawat semangat juang itu bukan hanya di dalam ruang konferensi atau di atas mimbar masjid, tapi juga di jalan; lewat kata-kata dan suara, lewat derap langkah dan amarah.

Aksi Jum’at Untuk Palestina yang digawangi Aqsa Working Group merekam banyak sekali wajah pejuang. Ada seorang laki-laki dengan kamera di tangan, berlari kiri ke kanan memastikan momen terbaik telah diabadikan. Sang Orator dengan nada berapi dan susunan kata yang membara, membakar semangat para demonstran. Di sudut kiri, seseorang berkalung lanyard "Press" sibuk merangkai huruf demi huruf untuk menjadi sebuah headline. 

Di sudut lainnya, anak kecil yang masih belum mahir berucap, tapi sudah fasih berteriak "Free Palestine." Ada pula lelaki paruh baya yang sebagian rambutnya sudah memutih, kokoh berdiri mengangkat poster bertulis "Stop Genocide." Sementara seorang ibu dengan jilbab corak Keffiyeh tak kuasa menahan bulir bening dari matanya saat bayangan tentang Gaza terlintas di pikirannya.

Pejuang tenyata tak melulu berseragam militer dengan senjata lengkap. Pejuang ternyata tak selamanya berdiri di medan tempur. Mereka yang meninggalkan kesibukannya lalu menghadiri Aksi Jum'at Untuk Palestina pun adalah Pejuang, Pejuang yang lahir atas nama cinta.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenun Kwatek, Karya Tangan Perempuan Adonara

   Kwatek Adonara saat dikenakan Penulis SUDAH tidak asing lagi jika kita mengetahui bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kain tradisional. Begitu pula di Pulau Adonara. Pulau ini menjadi salah satu daerah yang memiliki kain tenun sebagai kain tradisionalnya. Pulau Adonara sendiri terletak di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat Adonara, tenun ini dipakai dalam berbagai acara seperti upacara adat, pernikahan, pemakaman, dan hari-hari besar lainnya, baik hari besar nasional ataupun hari besar agama. Selain itu, kain tenun ini juga dikenakan sehari-hari oleh masyarakat Adonara dan dijadikan cendramata bagi wisatawan yang berkunjung ke sana.  Tenun Adonara memiliki tiga motif, pertama motif dengan warna-warni bergaris lurus lebar merupakan kain Kewatek (berbentuk seperti sarung), yang kedua motif dengan warna yang monoton serta bergaris lurus kecil-kecil adalah Nowing (berbentuk seperti sarung) dan yang ketiga motif berwarna dan bergaris lurus a...

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba...

Yang Berharga, Hiduplah Lebih Lama

Satu hal yang pasti bahwa mereka tidak lagi muda. Sebagian besar warna rambutnya sudah tak hitam, kerutan di tangan dan wajahnya kian tampak, beberapa gigi pun telah tanggal. Sudah lebih dari separuh abad, hidupnya di muka bumi. Kenyataan ini membuatku terisak, meski tanpa suara.  Aku berada jauh. Menyeberangi lautan dan udara. Baktiku tentu hanya setitik dibandingkan embusan perjuangan dan kasihnya. Fakta ini, membuat genangan di mataku sering tumpah, meski lagi-lagi tanpa suara. Perempuan itu begitu lembut tapi juga tegas. Aku dan dirinya sering kali beradu. Maklum, egoku yang teramat kental susah sekali dicairkan. Tapi doa-doanya adalah payung atas segala badai. Hidupku adalah berkat dari sujud panjangnya dan rapalan kalimat yang ia tuangkan merayu Sang Tuhan.  Sementara itu, seorang pria gagah dengan tangan lebar dan sedikit kasar. Telapak kakinya pun demikian. Tapi dari tangan dan kaki itulah aku tumbuh dan berdikari; menjadi kaktus di tengah gersang, menjadi api di tenga...