Langsung ke konten utama

Kejamnya Negeri ini: Parau Suara Rakyat Teriaki BBM dibalas Tepuk Tangan "Selamat Ulang Tahun"


SEMOGA belum telat untuk membicarakan ini. Saya berpikir cukup panjang sebelum menuliskannya. Maaf jika terlalu cerewet dan terkesan sok tahu, tapi diam saja di tengah gemuruh masyarakat yang menyesalkan keputusan pemerintah, rasa-rasanya saya tidak cukup tega untuk itu. Tentu, tulisan ini tidak akan berdampak signifikan pada perubahan, tapi memilih untuk bungkam bukan pilihan yang baik. Setidaknya, tulisan ini bukti bahwa saya berdiri bersama rakyat Indonesia.

Keputusan pemerintah yang menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi menyebabkan kegaduhan di negeri ini. Kita melihat aksi massa dari mahasiswa, buruh, ojek online, dan beragam elemen masyarakat lainnya berdatangan silih berganti. Tidak hanya di ibu kota, demo demi demo melebar hingga pelosok tanah air. Sedih? Tentu. Marah? Jelas. Tapi kita bisa apa selain berteriak? Alih-alih merespon, wakil rakyat kita sibuk bersorak sorai merayakan ulang tahun di gedung yang kita bayar, di kursi yang rakyat ini berikan. Lalu, wakil rakyat mana yang bisa kita percaya?

Dengan dalih memberatkan APBN, anggaran subsidi harus dipangkas. Tetapi untuk membangun ibu kota baru, dana siap sedia dicairkan. Maka jangan heran jika lahir spekulasi di tengah masyarakat, bahwa anggaran subsidi dialokasikan untuk IKN.

Tingginya kebutuhan subsidi masyarakat kita saja sudah menjadi bukti bahwa Indonesia masih jauh dari sejahtera. Bukannya berupaya menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan, masyarakat kita malah dipaksa memutar otak untuk beradaptasi dengan harga-harga yang melambung. Padahal pasca pandemi, kita masih harus tertatih-tatih memulihkan ekonomi.

Mari menengok ke belakang, pada tahun 1962 Indonesia resmi bergabung dengan organisasi internasional, negara-negara pengekspor minyak (Organization of the Petroleim Exporting Countries / OPEC). Indonesia juga pernah mencatatkan diri sebagai 11 negara produsen minyak terbesar di dunia dan triliunan rupiah mengalir ke kantong republik ini.

Baca Juga: RKUHP: Cara Pemerintah Melindungi Diri

Kini kondisi berputar seolah 180 derajat, Indonesia harus mengimpor minyak bumi untuk menyokong kebutuhan BBM-nya. Inilah mengapa persoalan subsidi BBM selalu menjadi masalah pelik. Ke mana kejayaan kita dulu?

Persoalan BBM bukanlah hal yang sepele. Kenaikan harganya tentu berimbas pada tarif transportasi, harga pangan, hingga inflasi. Hal ini tentu membuat rakyat kita menjerit. Kejamnya, di saat yang sama, koruptor yang merugikan negara sampai triliunan rupiah masih berlenggang entah ke mana, buronan katanya. Kita disuguhkan politik praktis di panggung pemerintahan, tolong menolong nyolong duit rakyat, asik menyiapkan kader untuk nyapres di pemilu.

Rakyat kecil menengadah sambil ternganga, dipercikanlah BLT 600 ribu rupiah untuk mengganjal perut, tapi apa daya; kesejahteraan ibarat pungguk merindukan bulan, terlalu jauh. 600 ribu sebulan tentu tak cukup mengganti kebutuhan harian subsidi. Sementara Menteri Keuangan mengeluhkan anggaran subsidi yang membengkak. Tapi bukankah konstitusi dalam UUD 1945 jelas-jelas mengamanatkan, kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab negara? Semoga saya tidak salah membaca alinea ke-4 undang-undang dasar kita.**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenun Kwatek, Karya Tangan Perempuan Adonara

   Kwatek Adonara saat dikenakan Penulis SUDAH tidak asing lagi jika kita mengetahui bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kain tradisional. Begitu pula di Pulau Adonara. Pulau ini menjadi salah satu daerah yang memiliki kain tenun sebagai kain tradisionalnya. Pulau Adonara sendiri terletak di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat Adonara, tenun ini dipakai dalam berbagai acara seperti upacara adat, pernikahan, pemakaman, dan hari-hari besar lainnya, baik hari besar nasional ataupun hari besar agama. Selain itu, kain tenun ini juga dikenakan sehari-hari oleh masyarakat Adonara dan dijadikan cendramata bagi wisatawan yang berkunjung ke sana.  Tenun Adonara memiliki tiga motif, pertama motif dengan warna-warni bergaris lurus lebar merupakan kain Kewatek (berbentuk seperti sarung), yang kedua motif dengan warna yang monoton serta bergaris lurus kecil-kecil adalah Nowing (berbentuk seperti sarung) dan yang ketiga motif berwarna dan bergaris lurus a...

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba...

Yang Berharga, Hiduplah Lebih Lama

Satu hal yang pasti bahwa mereka tidak lagi muda. Sebagian besar warna rambutnya sudah tak hitam, kerutan di tangan dan wajahnya kian tampak, beberapa gigi pun telah tanggal. Sudah lebih dari separuh abad, hidupnya di muka bumi. Kenyataan ini membuatku terisak, meski tanpa suara.  Aku berada jauh. Menyeberangi lautan dan udara. Baktiku tentu hanya setitik dibandingkan embusan perjuangan dan kasihnya. Fakta ini, membuat genangan di mataku sering tumpah, meski lagi-lagi tanpa suara. Perempuan itu begitu lembut tapi juga tegas. Aku dan dirinya sering kali beradu. Maklum, egoku yang teramat kental susah sekali dicairkan. Tapi doa-doanya adalah payung atas segala badai. Hidupku adalah berkat dari sujud panjangnya dan rapalan kalimat yang ia tuangkan merayu Sang Tuhan.  Sementara itu, seorang pria gagah dengan tangan lebar dan sedikit kasar. Telapak kakinya pun demikian. Tapi dari tangan dan kaki itulah aku tumbuh dan berdikari; menjadi kaktus di tengah gersang, menjadi api di tenga...