Langsung ke konten utama

RKUHP: Cara Pemerintah Melindungi Diri

Pict: Google


AKHIR-AKHIR ini anak buah kita lagi-lagi berulah. Ya, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang merancang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan aturan-aturan kontroversial.

Eh, kenapa Anda tidak setuju jika saya menyebut mereka sebagai anak buah? Bukankah mereka wakil rakyat yang bekerja untuk rakyat dan dibayar oleh rakyat? Kalau ada pelayan yang bisa bersikap kurang ajar dan semena-mena dengan majikannya, DPR-lah jawabannya. Cih, tidak tahu diri memang.

Bukan hal baru jika anggota dewan ini membuat keributan dan mengundang amarah rakyat, nah toh mereka sudah berkali-kali melakukan itu. UU Cipta Kerja, Omnibus Law, UU KPK, ini baru sedikit contoh peraturan yang mereka buat seenak jidatnya sendiri.

Sekarang, lagi-lagi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang katanya akan disahkan dalam waktu dekat membuat geram masyarakat. Tidak ada transparansi, hingga saat ini kita belum bisa mengakses dan membaca apa isi draf RKUHP tersebut. Kita disuruh berpegang pada draf RKUHP tahun 2019 yang jelas-jelas berisi pasal-pasal kontroversial dan telah menyebabkan demo besar-besaran di penjuru negeri pada 2019 lalu. Sehingga Presiden Jokowi memutuskan untuk menunda pengesahan RKUHP pada saat itu.

Dalam RKUHP 2019, ada beberapa pasal yang bisa kita katakan sebagai upaya membunuh demokrasi, di antaranya ialah:

Pasal yang menyatakan semua orang yang melakukan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan Wakil Presiden dapat dipidana.

Hal ini terdapat dalam pasal 28 ayat 1. Bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut: "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV."

Penghinaan terhadap dua pucuk pimpinan pemerintah itu sebelumnya diatur di dalam Pasal 134. Namun, sekarang diubah dan dituangkan dalam Pasal 218 dan 219. Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menghapus Pasal Penghinaan terhadap Presiden pada 2006 silam, tetapi saat ini terdapat upaya menghidupkan kembali pasal tersebut melalui RKUHP.

Kemudian, pasal yang menyatakan tentang penghinaan terhadap pemerintahan yang sah.

"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi hasutan agar melakukan Tindak Pidana atau melawan penguasa umum dengan Kekerasan, dengan maksud agar isi penghasutan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori V," kata Pasal 247.

Pasal 354 juga menuliskan hal senada, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

Pasal-pasal di atas hanya sebagian kecil dari banyaknya pasal yang berpotensi menjadi hukum karet jika telah disahkan. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang seharusnya mengurusi berbagai informasi dan transaksi elektronik saja sudah disalah gunakan untuk menjerat mereka-mereka yang mengkritik pemerintah. Apalagi ditambah dengan RKUHP yang memuat upaya terselebung untuk membungkam mulut rakyat.

Pemerintah dan anggota DPR di negeri ini begitu sensitif. Yang kita maksud adalah kritik, tapi mereka bisa saja menganggap itu sebagai celaan, hinaan, fitnah, dan sebagainya. Jika demikian, pasal-pasal RKUHP itu jelas bisa membuat kita meringkuk dalam penjara jika berani bersuara.

Pasal-pasal kontroversial itu dibuat untuk kepentingan siapa? Untuk melindungi siapa?

Saya selalu berpikir, bagaimana bisa ada manusia-manusia yang hidup dengan uang rakyat dapat berjalan melenggang dan begitu angkuh membuat peraturan yang menikam majikannya. Bukankah kita sebagai rakyat berhak memecat wakil kita jika mereka tidak becus bekerja? Bukankah sistem demokrasi membuat kedudukan rakyat lebih tinggi dari segalanya? Tetapi mengapa faktanya berbeda? Sebenarnya apa itu demokrasi? **

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film “Dirty Vote,” Bukti Kebiadaban Pemerintahan Jokowi

PERINGATAN : Tulisan ini bukan kajian ilmiah yang tersusun rapi dengan kalimat akademik dan sajian data konkrit. Bukan juga berisi pujian untuk menyanjung junjunganmu. Jadi bagi Anda yang merasa pendukung fanatik Presiden Jokowi maupun paslon tertentu, sebaiknya Anda tidak perlu membaca tulisan yang isinya hanya “sumpah serapah” untuk idolamu itu. FILM dokumenter “Dirty Vote” tayang hari ini, Ahad, 11 Februari 2024 pukul 11.11 WIB di kanal YouTube Dirty Vote. Saya buru-buru mengunduh film tersebut, khawatir sewaktu-waktu bisa di-takedown. Ya, saya memang sangat pesimis dengan kebebasan berbicara/berekspresi di negeri yang katanya demokrasi ini. Pukul 20.00 WIB, film tersebut selesai saya tonton. Bergegas saya buka Microsoft Word yang ada di laptop untuk menuangkan segala emosi yang terangkum selama menyaksikan “Dirty Vote.” Film yang disutradarai Dandhy Laksono ini kembali berhasil membuat saya meneteskan air mata. Bisa dibilang, jejak air itu belum sepenuhnya kering saat tulisan

Tepung Seharga Nyawa Manusia

Alkisah, di sebuah kota suci nan subur Hidup manusia mulia yang diserang sekelompok penjahat bengis; tak berhati dan tak pula berakal Para penjahat itu bermodalkan kebodohan dan keserakahah Dengan besar kepala mereka melawan kebenaran  Lucunya, langkah kejahatan itu didukung oleh pamannya, Paman Sam Lalu ketika seluruh hati di dunia terketuk dan mengutuk, Paman Sam tiba-tiba berubah peran Ambil langkah "kemanusiaan" Pura-pura berbaik hati Bah, pandai kali aktingnya Kirim bantuan lewat udara Jatuhkan makanan dari langit pantai Gaza Warga setempat yang kelaparan berlarian menuju ke situ Ternyata itu bukan hanya tempat makanan tapi juga tempat pemakaman Tepung yang dijatuhkan Paman Sam, seharga 150 nyawa manusia Mereka meregang nyawa di atas peti makanan Belum sempat mereka merasa kenyang, darahnya sudah lebih dulu terkuras Peti bantuan itu mendadak berubah warna Menjadi merah Semerah darah para syuhada Wanginya semerbak menembus layar handphone di gengaman umat manusia Aromanya

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba