Langsung ke konten utama

Basa-Basi itu Melelahkan



SAYA tidak suka, ralat, lebih tepatnya tidak pandai berbasa-basi. Bukan hanya tidak bisa, tapi juga tidak suka. Baiklah, kuakui saja, saya memang tidak suka basa-basi, apalagi dengan orang asing dan manusia-manusia SKSD alias sok kenal sok dekat. Tapi percayalah, teman-teman dekatku adalah mereka yang SKSD, karena kalau tidak, tentu saya tidak akan memiliki teman, bukan?

Di media sosial, banyak orang gemar basa-basi di kolom komentar hingga berani mengirim pesan ke orang lain yang tidak dia kenal. Dengan percaya diri menyatakan bahwa ia tertarik dengan sosok seorang Arina yang terpampang di lini masa. Apakah mereka lupa, kalau media sosial adalah wadah yang hanya menunjukkan sisi keren seseorang? Mengapa mereka mudah sekali tertipu?

Mungkin Anda akan menghujat tulisan ini, karena merasa seorang Arina seolah-olah 'jual mahal.' Astaga, saya bukan barang dagangan.

Ada pula yang mengirim sapaan genit dan sedikit memuakkan dengan foto profil versi tertampan menurut mereka sendiri. Apakah mereka berharap, saya akan berdebar-debar seperti gadis kecil umur 14 tahun yang berkenalan dengan bocah tampan bak pangeran negeri dongeng?

Bahkan seingatku, di masa pubertas, saya tidak pernah membagikan nomor kontak dengan sukarela kepada orang baru. Jika ada lelaki asing yang bisa mengakses nomor hpku, dapat dipastikan itu ulah teman-temanku yang belum mengerti makna privasi. Kejadian itu kumaafkan, Kawan. Tapi jangan diulangi, Anda sudah kepala dua sekarang.

Usiaku masih 20an saat menulis tulisan ini. For your information, sepekan yang lalu diriku genap memasuki 22 tahun kehidupan di dunia. Membosankan, tapi juga cukup membahagiakan, meski saya lupa kapan terakhir kali tertawa tanpa beban.

Sungguh, saya memang masih muda, tapi entah kenapa dayaku sudah menipis untuk membalas pesan dari orang asing di media sosial. Berkenalan, menanyakan asal kampung halamanku, mengirim pesan siang malam, kubaca dan kubiarkan usang begitu saja. Persetan orang menilai sombong atau apa, sering mengunjungi dunia maya bukan berarti saya punya waktu untuk menerima basa-basi paling basi itu.

Bagaimana bisa mereka menggunakan tenaga yang berharga dan waktu yang hanya 24 jam sehari untuk mengirim pesan dan meladeni orang-orang asing di jagat maya?

Sebenarnya saya cukup iri sama orang-orang yang mampu membangun relasi via media sosial, baik instagram, facebook, telegram dan lainnya. Berkenalan dengan stranger lalu mengatur waktu untuk berkencan. Semudah itukah? Bagaimana caranya?

Dari tulisan ini, mungkin Anda akan menganggap saya seseorang yang sangat kaku dalam bersosialisasi. Sejujurnya tidak seperti itu, mari bertemu di dunia nyata; kedai kopi atau pinggir pantai bisa jadi tempat yang nyaman untuk berdiskusi. Saya bukan manusia anti-sosial, saya senang bercerita dan menjadi teman cerita, hanya saja saya tidak bisa melakukan ini di dunia maya. Saya cukup kesulitan mengawali perbincangan, tapi apapun yang Anda sampaikan secara langsung, saya tahu cara meresponnya.

Sekali lagi, saya gagap berinteraksi dengan orang asing di media sosial. Tapi jika bertemu langsung, saya cukup asik dijadikan teman bicara, bahkan teman hidup.

Sekian dan terima kasih :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film “Dirty Vote,” Bukti Kebiadaban Pemerintahan Jokowi

PERINGATAN : Tulisan ini bukan kajian ilmiah yang tersusun rapi dengan kalimat akademik dan sajian data konkrit. Bukan juga berisi pujian untuk menyanjung junjunganmu. Jadi bagi Anda yang merasa pendukung fanatik Presiden Jokowi maupun paslon tertentu, sebaiknya Anda tidak perlu membaca tulisan yang isinya hanya “sumpah serapah” untuk idolamu itu. FILM dokumenter “Dirty Vote” tayang hari ini, Ahad, 11 Februari 2024 pukul 11.11 WIB di kanal YouTube Dirty Vote. Saya buru-buru mengunduh film tersebut, khawatir sewaktu-waktu bisa di-takedown. Ya, saya memang sangat pesimis dengan kebebasan berbicara/berekspresi di negeri yang katanya demokrasi ini. Pukul 20.00 WIB, film tersebut selesai saya tonton. Bergegas saya buka Microsoft Word yang ada di laptop untuk menuangkan segala emosi yang terangkum selama menyaksikan “Dirty Vote.” Film yang disutradarai Dandhy Laksono ini kembali berhasil membuat saya meneteskan air mata. Bisa dibilang, jejak air itu belum sepenuhnya kering saat tulisan

Tepung Seharga Nyawa Manusia

Alkisah, di sebuah kota suci nan subur Hidup manusia mulia yang diserang sekelompok penjahat bengis; tak berhati dan tak pula berakal Para penjahat itu bermodalkan kebodohan dan keserakahah Dengan besar kepala mereka melawan kebenaran  Lucunya, langkah kejahatan itu didukung oleh pamannya, Paman Sam Lalu ketika seluruh hati di dunia terketuk dan mengutuk, Paman Sam tiba-tiba berubah peran Ambil langkah "kemanusiaan" Pura-pura berbaik hati Bah, pandai kali aktingnya Kirim bantuan lewat udara Jatuhkan makanan dari langit pantai Gaza Warga setempat yang kelaparan berlarian menuju ke situ Ternyata itu bukan hanya tempat makanan tapi juga tempat pemakaman Tepung yang dijatuhkan Paman Sam, seharga 150 nyawa manusia Mereka meregang nyawa di atas peti makanan Belum sempat mereka merasa kenyang, darahnya sudah lebih dulu terkuras Peti bantuan itu mendadak berubah warna Menjadi merah Semerah darah para syuhada Wanginya semerbak menembus layar handphone di gengaman umat manusia Aromanya

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba