Langsung ke konten utama

Sejumput Kisah Tentang Kami; Arina dan Keluarga



HARI INI saya ingin berbagi cerita tentang hidup saya dan keluarga saya. Saya rasa pengalaman perlu dibagi untuk menjadi pembelajaran. Bagi saya khususnya, dan juga bagi orang-orang yang membacanya.

Saya bukanlah anak yang terlahir dengan keluarga serba ada. Saya dibesarkan dengan cucuran keringat yang deras dari ayah dan ibu saya. Mungkin saya kurang dalam nominal rupiah, tapi dalam kasih sayang, saya selalu merasa beruntung.

Untuk teman-teman yang sudah tahu kondisi rumah saya saat ini, mungkin tidak menyangka bahwa rumah itu dulunya hanyalah sepetak ruangan berukuran 3x4 meter yang digunakan sebagai kios kecil, ruang tamu,ruang keluarga, kamar tidur, dan dapur. Semua tergabung dalam satu ruangan sempit. Saat itu saya memang masih kecil, tapi sampai hari ini saya ingat bagaimana rasanya hidup di dalam rumah 6S (Sempit Sekali Sampai Selonjor Saja Susah).

Kami bahkan tidak memiliki lemari. Baju-baju kami disusun dalam kardus-kardus bekas. Tidur bersebelahan dengan tikus menjadi hal yang lumrah, karena kondisi rumah yang memang saat itu belum layak disebut rumah. Kamar mandi kami hanya terbuat dari batu bata yang disusun tanpa semen kemudian dilapisi dengan karung. Atap rumah sempit itu pun terbuat dari seng-seng bekas yang sudah bolong. Saat hujan, tentu kami akan kehujanan meski sedang berada di dalam rumah.

Apabila malam hari hujan turun, ayah saya harus siaga untuk pasang terpal di dalam rumah. Satu ujung terpal diikat di kursi, dua lainnya diikat di tiang ranjang, sedangkan satu ujung terpal lagi dipegang oleh ayah saya. Bayangkan, semalaman hampir selama musim hujan beliau tidur dalam keadaan duduk sambil memegang terpal, untuk memastikan anak istrinya tidak kehujanan dan bisa tidur dengan nyenyak. Ayah saya sangat luar biasa.

Saya tahu rasanya minum air tajin. Saya tahu rasanya makan bayam liar yang tumbuh berserakan di belakang rumah. Saya tahu rasanya makan aneka rumput liar. Saya tahu itu. Dan saya rasa itulah yang membuat saya memiliki daya tahan tubuh yang kuat dan tidak mudah sakit. Maka dengan itu saya bersyukur. Mungkin karena asupan makanan-makanan itulah saya bisa menjadi Arina yang seperti hari ini.

Jika di antara teman-teman semua ada yang merasakan hal yang seperti saya rasakan di atas, atau bahkan lebih parah. Bersyukurlah. Kita orang-orang kuat. Kita memang diciptakan Tuhan untuk berdiri dengan kokoh, tangguh dan tak goyah.

Meskipun saat itu untuk makan saja susah, tetapi ibu saya tidak pernah lupa untuk berbagi kepada sesama. Setiap ingin menanak nasi, ibu saya selalu menyimpan segenggam beras di dalam sebuah kaleng. Terus berlanjut sampai kaleng itu penuh dan berisi sekitar 1 kg beras. Lalu beras yang telah terkumpul ia berikan kepada siapa saja yang ia temui. Kadang diberikan kepada orang yang ia temui di pasar, kadang pula ia berikan kepada anak-anak kecil penjual pecal yang sering lewat depan rumah.

Hal itu menjadi rutinitas yang ia lakukan. Saya yakin, setiap butir beras yang ibu saya berikan kepada orang lain itu mengantarkan kami kepada kehidupan hari ini. Saya percaya bahwa Tuhan selalu membalas setiap kebaikan dengan kebaikan yang lebih baik. Kita memberi bukan karena kita kaya, tapi karena kita tahu bagaimana rasanya tidak punya.

Untuk menjadi kami yang seperti hari ini, orang tua saya melalui bermacam-macam rintangan. Segala usaha dicoba. Bahkan pernah gagal sampai rugi puluhan juta. Tapi hal itu tak membuat orang tua saya menyerah. Mereka semakin giat ibadah, usaha dan intropeksi diri. Kemudian mereka menemukan alasan mengapa usaha yang dibangun sering kali gagal. Jawabannya adalah hutang. Setelah diingat-ingat, ternyata pada masa kuliah, ayah saya memiliki hutang sekitar 2 juta rupiah kepada temannya dan belum dibayar.

Selain itu, ia juga memiliki hutang 6 ribu atau 60 ribu kepada teman lainnya. Setelah menyadari hal tersebut, orang tua saya bersusah payah mencari keberedaan teman-teman ayah saya tersebut untuk membayar hutang-hutang itu. Atas izin Allah, mereka dipertemukan. Sehingga orang tua saya segera melunasi hutang tersebut.

Hal ini mengajarkan saya betapa hutang sangat mampu menghalangi rezeki kita. Semoga kita tidak tergolong orang-orang yang suka berhutang. Jika memang terpaksa, semoga kita lekas melunasinya.

Waktu saya SMA, ibu saya divonis mengidap penyakit kista dan miom. Saat itu, ibu saya diharuskan untuk operasi dengan biaya sekitar 10 juta rupiah. Belum dengan biaya lainnya yang jika ditotal entah menjadi berapa puluh juta. Dengan biaya yang begitu besar, orang tua saya berpikir kembali untuk mengambil langkah operasi. Pada akhirnya, orang tua saya membatalkan operasi tersebut.

Mereka memilih meminjam uang di bank sebesar 100 juta rupiah. 10 juta dari uang tersebut disedekahkan dengan niat mencari ridho Allah dan sisanya digunakan untuk mengelola dengan lebih baik kios yang kami punya. Lagi dan lagi, Allah menunjukkan kuasaNya. Dalam waktu tak sampai 2 tahun, hutang 100 juta di bank lunas dan penyakit ibu saya berangsur-berangsur membaik dan sembuh. Alhamdulillahi rabbilalamiin.

Beberapa hari lalu, saya dibelikan hp baru oleh orang tua saya. Sebelum saya meminta dibelikan, saya bernazar dalam hati. Jika hp saya baru, maka hp yang lama ini akan saya sedekahkan kepada orang yang membutuhkan. Kemudian selang 2 atau 3 hari setelah saya meminta hp baru, ibu saya menelpon dan mengiyakan permintaan saya. Setelah mendapat hp baru, saya menepati nazar saya.

Tuhan benar-benar Maha Pemurah. Saya hanya bernazar tetapi Dia langsung mengabulkannya. Ternyata untuk seorang pendosa seperti saya ini, Tuhan tetap mau mendengarkan bahkan mengabulkan doa saya.

Saya selalu meminta apa pun kepada Tuhan. Minta uang, minta jalan-jalan, semua saya ceritakan pada Tuhan dalam doa. Kemudian belum lama ini, saya kembali rutinkan untuk selalu sholat Dhuha. Saya curhat, "Tuhan, saya bosan. Saya mau jalan-jalan, tapi tidak ada motor". Kemarin Tuhan membalas curhatan saya. Orang tua saya membelikan saya motor second seharga 6,3 juta rupiah. Kurang baik apa coba Tuhan itu?? Sangat baik. Terlalu baik. Maha baik.


Allah berfirman ; " Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepadaKu........."
(QS. Al-Baqarah : 186)

Dari ayat di atas, tergambar jelas bahwa Allah begitu romantis kepada hambaNya.

Semoga pengalaman dalam tulisan di atas tidak membuat saya menjadi sombong, tetapi menjadi motifasi buat saya dan siapa pun yang membacanya untuk selalu intropeksi dan mawas diri.

Semoga kita menjadi orang-orang yang senantiasa menyebarkan kebaikan dan kebahagiaan kepada sesama. Senantiasa berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Senantiasa bersyukur dengan apapun yang Tuhan berikan dan tidak meremehkan hutang sekecil apapun nilainya. Aamiin. 

Komentar

  1. Aku baru baca pengalaman hidup km yg ini, dan banyak yg bisa ku pelajari...😊😊
    Thank's for you experience..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenun Kwatek, Karya Tangan Perempuan Adonara

   Kwatek Adonara saat dikenakan Penulis SUDAH tidak asing lagi jika kita mengetahui bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kain tradisional. Begitu pula di Pulau Adonara. Pulau ini menjadi salah satu daerah yang memiliki kain tenun sebagai kain tradisionalnya. Pulau Adonara sendiri terletak di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat Adonara, tenun ini dipakai dalam berbagai acara seperti upacara adat, pernikahan, pemakaman, dan hari-hari besar lainnya, baik hari besar nasional ataupun hari besar agama. Selain itu, kain tenun ini juga dikenakan sehari-hari oleh masyarakat Adonara dan dijadikan cendramata bagi wisatawan yang berkunjung ke sana.  Tenun Adonara memiliki tiga motif, pertama motif dengan warna-warni bergaris lurus lebar merupakan kain Kewatek (berbentuk seperti sarung), yang kedua motif dengan warna yang monoton serta bergaris lurus kecil-kecil adalah Nowing (berbentuk seperti sarung) dan yang ketiga motif berwarna dan bergaris lurus a...

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba...

Yang Berharga, Hiduplah Lebih Lama

Satu hal yang pasti bahwa mereka tidak lagi muda. Sebagian besar warna rambutnya sudah tak hitam, kerutan di tangan dan wajahnya kian tampak, beberapa gigi pun telah tanggal. Sudah lebih dari separuh abad, hidupnya di muka bumi. Kenyataan ini membuatku terisak, meski tanpa suara.  Aku berada jauh. Menyeberangi lautan dan udara. Baktiku tentu hanya setitik dibandingkan embusan perjuangan dan kasihnya. Fakta ini, membuat genangan di mataku sering tumpah, meski lagi-lagi tanpa suara. Perempuan itu begitu lembut tapi juga tegas. Aku dan dirinya sering kali beradu. Maklum, egoku yang teramat kental susah sekali dicairkan. Tapi doa-doanya adalah payung atas segala badai. Hidupku adalah berkat dari sujud panjangnya dan rapalan kalimat yang ia tuangkan merayu Sang Tuhan.  Sementara itu, seorang pria gagah dengan tangan lebar dan sedikit kasar. Telapak kakinya pun demikian. Tapi dari tangan dan kaki itulah aku tumbuh dan berdikari; menjadi kaktus di tengah gersang, menjadi api di tenga...