Langsung ke konten utama

Terima Kasih atas Kisah dan Kasih

Foto pribadi penulis

Oleh Edo Muhammad Abdillah

TUHAN, sudah habis kata-kataku untuk meminta, kini aku hanya ingin berterima kasih saja.

Terima kasih kepada Allah swt yang telah memberikan hidup, iman, rezeki dan perasaan yang cukup. Cukup untuk merasakan pusing akibat tugas kuliah, cukup untuk merasakan lelah akibat mencari nafkah, cukup untuk merasakan rasa syukur bahagia karena semua ini ada.

Aku sedang berada di tengah keriangan pemuda lokal di perkotaan. Di sini, aku diingatkan kembali tentang bagaimana hidup seharusnya berjalan. Jadilah aku tuangkan semua kegelisahan ini pada tulisan. Tidak cukup memukau, tapi lumayan untuk sekedar pengganti telingamu yang penuh perbandingan.

Terima kasih kepada kamu semua yang membaca tulisan ini atau tidak. Padamu juga yang selalu membentukku agar selalu merasa tidak puas dan cukup pantas, terima kasih telah mewarnaiku, temani hari dalam lika-liku. Terima kasih sudah menopang dan menempa aku hingga merasakan semua itu. 

Terima kasih kepada keluarga dan sahabat. Sehingga membuatku merasa lemah, tak berguna hingga merasa tak hebat.

Ah sudahlah, pada dasarnya kita hanya ingin didengarkan, bukan?

BACA JUGA: Insecure di Usia 20++

Terima kasih kepada bumi yang selalu berotasi juga matahari yang tak enggan membakar tapi menyinari. Juga kepada atmosfer yang menyediakan udara agar aku bisa terus bernafas dan terus menua. Akibatnya raga ini mendekat pada Penguasa lewat kematian yang sangat mengerikan. Jujur jangan dulu selesai wahai kehidupan, aku belum siap.

Maka nikmatilah sebuah cakupan era dalam zaman huru-hara di mana takdir sepertinya menjadikan hidup ini menjadi episode krusial pada sebuah mitologi nyata. Semoga kita dikuatkan agar kaki terus dilangkahkan, terutama pada alibi patah arah yang berkata "Apa guna alas kaki jika bukan kamu alasanku melangkah lagi". Sungguh kenaifan yang menggelikan. 

Apa yang kita masukan ke dalam tubuh kita akan berdampak di kemudian hari. 

Semua pelik masuk bersamaan hingga menimbulkan kebisingan. 

Tidak ada masa damai, yang ada hanyalah masa istirahat di antara dua perang. 

Kurasa, kita tidak pernah benar-benar bisa istirahat di dunia ini. Sebab waktu tak pernah sudi berhenti dan kesempatan tidak pernah mau menunggu.

Sebenarnya tulisan ini belum selesai, oleh karena itu cukup sampai di sini dulu, aku belum selesai berterima kasih.**

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film “Dirty Vote,” Bukti Kebiadaban Pemerintahan Jokowi

PERINGATAN : Tulisan ini bukan kajian ilmiah yang tersusun rapi dengan kalimat akademik dan sajian data konkrit. Bukan juga berisi pujian untuk menyanjung junjunganmu. Jadi bagi Anda yang merasa pendukung fanatik Presiden Jokowi maupun paslon tertentu, sebaiknya Anda tidak perlu membaca tulisan yang isinya hanya “sumpah serapah” untuk idolamu itu. FILM dokumenter “Dirty Vote” tayang hari ini, Ahad, 11 Februari 2024 pukul 11.11 WIB di kanal YouTube Dirty Vote. Saya buru-buru mengunduh film tersebut, khawatir sewaktu-waktu bisa di-takedown. Ya, saya memang sangat pesimis dengan kebebasan berbicara/berekspresi di negeri yang katanya demokrasi ini. Pukul 20.00 WIB, film tersebut selesai saya tonton. Bergegas saya buka Microsoft Word yang ada di laptop untuk menuangkan segala emosi yang terangkum selama menyaksikan “Dirty Vote.” Film yang disutradarai Dandhy Laksono ini kembali berhasil membuat saya meneteskan air mata. Bisa dibilang, jejak air itu belum sepenuhnya kering saat tulisan

Tepung Seharga Nyawa Manusia

Alkisah, di sebuah kota suci nan subur Hidup manusia mulia yang diserang sekelompok penjahat bengis; tak berhati dan tak pula berakal Para penjahat itu bermodalkan kebodohan dan keserakahah Dengan besar kepala mereka melawan kebenaran  Lucunya, langkah kejahatan itu didukung oleh pamannya, Paman Sam Lalu ketika seluruh hati di dunia terketuk dan mengutuk, Paman Sam tiba-tiba berubah peran Ambil langkah "kemanusiaan" Pura-pura berbaik hati Bah, pandai kali aktingnya Kirim bantuan lewat udara Jatuhkan makanan dari langit pantai Gaza Warga setempat yang kelaparan berlarian menuju ke situ Ternyata itu bukan hanya tempat makanan tapi juga tempat pemakaman Tepung yang dijatuhkan Paman Sam, seharga 150 nyawa manusia Mereka meregang nyawa di atas peti makanan Belum sempat mereka merasa kenyang, darahnya sudah lebih dulu terkuras Peti bantuan itu mendadak berubah warna Menjadi merah Semerah darah para syuhada Wanginya semerbak menembus layar handphone di gengaman umat manusia Aromanya

Adonara, Tanah Lebih Mahal Daripada Darah

Anak pulau mendengar kabar Ada mayat mati terkapar Adonara, Tanah Tumpah Darah Darah Tumpah Karena Tanah KEMARIN , berita muncul di linimasa, enam nyawa hilang di ujung tombak. Darah kembali tumpah, lagi dan lagi karena masalah yang itu-itu saja. Bukan hal baru di telinga kita, bahwa persoalan hak tanah berujung pertikaian. Korban berjatuhan, anak jadi yatim, ibu jadi janda. Seorang misionaris asal Belanda, Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island). Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara." BACA JUGA: Masa Depan Anak Pesisir Adonara Hmm... dari pernyataan tersebut, tidak dapat dipungkiri ba